Menyoal Modus Beragama Kaum Milenial Di Era Disrupsi


Penulis: Bima Putra

Ketua Bidang Riset Pengembangan Keilmuan Dewan Pimpinan Daerah IMM Sumbar 2021-2023


Milenial atau dikenal pula dengan istilah generasi y atau generasi langgas adalah kelompok demografi yang hadir usai generasi x. kaum milenial dalam artikel ini, menunjuk pada populasi anak muda dalam jumlah besar yang lahir antara tahun 1980-an hingga 2000-an. 

Merujuk pada teori pembagian generasi, mereka lahir pada kisaran tahun itu. Disamping generasi milineal. Indonesia menaruh harapan begitu besar terhadap generasi ini, terlebih lantaran bonus demografi yang dialami Indonesia pada 2020-2030. 

Pada dekade tersebut, diperkirakan penduduk berusia produktif antara 15 hingga 64 tahun, mencapai kisaran 70 % dari total penduduk Indonesia. Dari 70 % itu, sebagaian besar diantaranya adalah generasi milenial.

Alih-alih pada 2023 yang tak lama lagi tiba, atau pada 2030, saat ini saja keberadaan dan kiprah kaum milineal telah mengundang perhatian banyak kalangan, terutama kapasitas mereka dalam menciptakan perubahan (inovasi) atau membentuk dunia baru, sebagaimana ungkapan penulis muslim milenial dari London, Shelina Jammohamed Rhenald kasali, akademisi dan praktisi bisnis dari Universitas Indonesia dalam empat serial bukunya soal disrupsi (distruption) memosisikan kaum milineal sebagai actor bisnis startup yang mampu mendisprusi banyak petahana dalam bisnis sejenis. Seperti Shinta Nurfauzia. 

Atau Nadiem makarim, lahir pada 4 juli 1984, yang sekarang menjadi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. Pendiri serta CEO Gojek, hanya secuil contoh dari kalangan milenial yang mampu mendisrupsi bisnis dan cara kita bertranportasi. Usia Makarim tidak terpaut terlalujauh dengan Anthoni Tan, pendiri Grab dan Travis Kalanick, pendiri Uber.

Mengenal era disrupsi adalah masa di mana terjadi inovasi dan perubahan secara masif. perubahan tersebut terjadi secara fundamental, hingga mengubah berbagai system dan tatanan ke cara yang baru. Membaca serial disrupsi yang terbit sejak 2017, yaitu Distruption (2017), Tomorrow is Today (2017), Self-Distruption (2018), dan The Great shifting (2018), disrupsi diyakini sebagai realitas yang pasti terjadi dan menerpa apapun menyusul terjadinya revolusi industri kelima. 

Watak atau karakteristik disrupsi adalah inovasi yang mengganggu produk lama yang nantinya segera terlihat ketinggalan zaman. Karena disrupsi ditopang kecanggihan teknologi informasi, semesntara kaum milenial adalah digital natives yang lahir tatkala teknolgi informasi menjadi menu sehari-hari, tak salah jika kaum milineal memiliki potensi mendisrupsi berbagai elemen lainya. Tidak hanya dunia bisnis, tetapi juga agama.

Kalau menelisik sejarah pembentukan paham keagamaan munculnya Al-Qiyadah Al-Islamiyah, bukanlah fenomena baru. Islam juga bukan satu-satunya komunitas yang sering menghadapi munculnya kelompok baru. Pada semua agama selalu muncul apa yang disebut David V barret (2001) dengan the new beliver atau gerakan keagamaan baru (new religious movement/NRMs). 

Agama-agama besar umumnya telah mematok keyakinan adanya pemegang otoritas tunggal doktrin agama yang biasa disebut dengan nabi atau rasul. Begitu sang nabi wafat, maka tidak boleh ada lagi ajaran baru. Bila ada klaim ajaran baru yang disertai pula dengan klaim nabi baru, sama artinya dengan melawan ajaran agama yang sudah mapan

Kembali soal serial disrupsi, Rhenald Kasali memang tidak membahas bagaimana kaum milineal mendisrupsi agama, kendati wilayah yang berkaitan dengan agama mulai terancam (disrupted). 

Menggunakan konsep disrupsi untuk menjelaskan kiprah kaum milineal di dunia keagamaan, memang terkesan mengkhawatirkan, untuk tidak mengatakan menakutkan. 

Kesan ini tak terhindarkan karena disrupsi per defisi, lalu mengutip lagi Rhenald Kasali, adalah membuat banyak hal baru, sehingga yang lama ketinggalan zaman, kuno dan tidak terpakai (doing thing diffently-so others will be obsolute). Lantas, apakah agama akan menjadi ‘korban’ berikutnya di era disrupsi yang antara lain diaktori kaum milineal? 

Kita ketahui sebenarnya, ancaman dan goyangan terhadap eksistensi agama telah terjadi bukan hanya sekarang. Bagi mereka yang akrab dengan literatur sosiologi, tentu hafal betul dengan frasa bukan sekadar “kematian agama”, bahkan “kematian tuhan”. 

Frasa yang dipatrikan oleh tokoh filsuf abad ke-19 bernama Friedrich Nietzche. Toh, seperti ditegaskan Shelina Janmohamed dalam Generation M: young Muslim Changing The World, hingga saat ini agama tetap bermakna dalam kehidupan sehari-hari, di kala mana modernitas terus mengalami percepatan

Modernitas, tegas Shelina Janmohamed, bukanlah lawan agama. Antara agama dan modernitas terjadi proses dialektika yang positif. Agama menjadikan modernitas terlihat lebih baik. Modernitas juga menjadikan agama lebih baik. 

Selain menawarkan kesenangan, ia juga menciptakan satu hal yang telah dilahirkan modernitas adalah media. Media menampilkan secara detail setiap objek yang menjadi tampilannya. Terutama media elektronik seperti TV, HP dan Internet. 

Ia tidak hanya memvisualisasikan objek sasarannya tapi juga menjelaskan sisi lain (makna) dari objek tersebut. Tetapi masalahnya, ada suatu perkembangan lain yang mengiringi kehadiran kaum milineal, yang disebut dengan post-truth di dunia maya. 

Dalam era ini, masyarakat, tidak terkecuali kaum milineal tidak sedikit yang lebih memerpecayai informasi palsu dan dengan cepat pula menyebarkannya. Sederhananya, dalam post-truth society, suatu hal yang palsu justru dianggap sebagai kebenaran 

Tidak sedikit dari kita yang secara sadar termasuk pada kategori pengguna masif yang mendapatkan informasi dari media sosial kemudian disebarkan kepada orang lain. 

Tak sedikit pula generasi milienal terperangkap dalam realitas post-truth society sebagai akibat penggunaan media yang berlebihan, tanpa dibarengi literasi digital yang memadai. 

Studi yang dilakukan Pedersen, Vestel & Bakken (2018) terhadap 8.627 remaja di Norwegia, Oslo menemukan bahwa dibandingkan remaja pemeluk agama lain, remaja muslim memiliki tingkat yang lebih tinggi dalam pemberian dukungan terhadap adanya perlakuan kekerasan dibandingkan dengan remaja lainnya. 

Namun, setelah mengontrol beberapa variable lainnya, islam tidak memeiliki hubungan yang signifikan mengenai pemberian dukungan terhadap kekerasan politik. 

Latar berlakang imigran yang kompleks dan munculnya remaja outsider, yang mana merupakan hasil dari rendahnya prestasi di sekolah, menyulut berbagai permasalahan kekerasan bagi remaja muslim terrtentu. Kondisi ini tak bisa dipandang remeh sebab bisa berkembang ke arah yang mengkhawatirkasn dan menakutkan.

Inilah dilema dan juga tantangan kaum milineal di era disrupsi. Ditengah kompleksnya media sosial, sejauh mana mereka menggunakan untuk kebermanfaatan narasi kebajikan, sekaligus membendung laju arus kebencian maupun radikalisme. 

Menurut Greenberg (2016)) perlu diperhatikan tiga hal dalam melalukan perlawanan terhadap radikalisasi, yaitu disrupsi, pengalihan dan countermassaging.


Referensi : Buku Populisme, Demokratisasi, Multikulturalisme karya Prof. Dr.Syamsul Arifin, M.Si & Buku Filosof Juga Manusia karya Dr. Fakhruddin Faiz, M.A

Tidak ada komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Diberdayakan oleh Blogger.