![]() |
Penulis Anggun Febi Anjela |
Oleh : Anggun Febi Anjela, Jurusan Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
-------------------------
CERITA rakyat Minangkabau seperti Malin Kundang, Bujang Paman, hingga kisah-kisah lokal yang kurang dikenal seperti Si Kambang dan Ikan Sakti menyimpan warisan budaya yang tak ternilai.
Kisah-kisah ini tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga mengandung nilai-nilai kehidupan yang diwariskan turun-temurun: kejujuran, tanggung jawab, hormat kepada orang tua, dan pentingnya adat dalam hidup bermasyarakat.
Sayangnya, seiring dengan masifnya penetrasi budaya luar dan maraknya konten digital, cerita-cerita rakyat ini mulai kehilangan tempatnya di hati generasi muda.
Di tengah arus globalisasi, penulisan kembali cerita rakyat Minangkabau dalam bentuk karya sastra anak menjadi salah satu cara strategis dalam menjaga marwah nagari—kehormatan dan harga diri budaya Minangkabau.
Anak-anak zaman sekarang tumbuh dalam lingkungan digital yang cepat dan visual. Maka, penulisan sastra anak yang menyentuh nilai lokal harus mampu bersaing dari sisi narasi, tampilan, dan daya tarik cerita, tanpa kehilangan substansi tradisinya.
Penyesuaian tentu perlu dilakukan. Cerita rakyat klasik yang awalnya disampaikan secara lisan biasanya memiliki alur cerita panjang dan konflik yang kadang terlalu keras bagi anak.
Misalnya, dalam kisah Malin Kundang, hukuman dikutuk menjadi batu bisa meninggalkan trauma jika tidak disampaikan dengan pendekatan naratif yang tepat.
Oleh karena itu, penulis sastra anak perlu melakukan penyederhanaan alur, membingkai ulang konflik, dan menyampaikan pesan moral secara halus namun mengena.
Nilai-nilai seperti ketulusan, keberanian, dan pentingnya menghargai orang tua bisa tetap menjadi inti dari cerita yang ditulis ulang.
Namun, tantangan terbesar dalam menulis sastra anak berbasis cerita rakyat adalah menjaga keseimbangan antara kreativitas penulis dengan otentisitas budaya.
Cerita rakyat Minangkabau memiliki banyak versi lokal yang beragam di setiap nagari. Seorang penulis yang baik harus memiliki kepekaan budaya—dengan cara melakukan riset lapangan, berdiskusi dengan tokoh adat, dan membaca pustaka lama—agar tidak menghilangkan ruh dari cerita tersebut.
Penulisan yang sembarangan justru bisa merusak pemaknaan kolektif yang sudah hidup dalam masyarakat.
Dari segi bahasa, penulis dituntut cermat. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama tetap penting agar bisa menjangkau anak-anak lintas daerah, namun sisipan kata-kata Minang seperti “dunsanak”, “urang kampuang”, atau ungkapan filosofis seperti “alam takambang jadi guru” dapat memberi warna lokal yang khas.
Penggunaan glosarium atau penjelasan kontekstual juga bisa menjadi jembatan pemahaman tanpa membuat cerita terasa kaku atau berat.
Contoh konkret dari upaya ini bisa dilihat dalam beberapa buku cerita anak berbasis budaya lokal yang diterbitkan di Sumatera Barat.
Buku Si Bujang dan Kerbau Sakti misalnya, berhasil menyatukan narasi yang ringan, ilustrasi yang menarik, dan nilai-nilai tradisi yang kuat.
Cerita ini tidak hanya menghibur, tapi juga mengenalkan anak pada kearifan lokal seperti hubungan manusia dengan alam, pentingnya gotong royong, dan pengaruh adat terhadap perilaku sehari-hari.
Revitalisasi cerita rakyat Minang juga sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang sedang diterapkan secara nasional.
Kurikulum ini memberi ruang luas bagi sekolah untuk mengembangkan pembelajaran berbasis kearifan lokal. Dengan demikian, cerita rakyat Minang yang diolah menjadi karya sastra anak dapat dijadikan bahan ajar kontekstual—misalnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia, Seni Budaya, atau Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).
Kerja sama lintas sektor sangat dibutuhkan: antara guru, penulis, ilustrator, editor, hingga pemerintah daerah.
Festival literasi daerah, lomba menulis cerita rakyat, hingga pelatihan menulis untuk guru dan mahasiswa pendidikan bisa menjadi gerakan literasi yang mengangkat kembali cerita rakyat sebagai instrumen budaya yang hidup.
Tak kalah penting, dukungan penerbit lokal juga dibutuhkan agar hasil karya dapat dicetak dan disebarluaskan ke sekolah-sekolah di pelosok Sumatera Barat.
Menulis sastra anak berbasis cerita rakyat Minangkabau bukan sekadar melestarikan cerita lama, tetapi merupakan usaha membentuk generasi muda yang mengenal jati dirinya sejak dini.
Lewat dongeng yang menggugah dan berakar dari tanah sendiri, anak-anak Minangkabau tidak hanya diajak berimajinasi, tetapi juga diajak memahami siapa diri mereka dalam pusaran zaman yang cepat berubah.
Di sanalah letak pentingnya menjaga marwah nagari—melalui pena, kertas, dan imajinasi yang berpijak pada tanah adat.
Selain sebagai media pelestarian budaya, penulisan ulang cerita rakyat Minangkabau dalam bentuk sastra anak juga memainkan peran penting dalam pembentukan identitas kultural sejak usia dini.
Di tengah dominasi narasi-narasi global yang membentuk cara pandang anak terhadap dunia, cerita lokal memberi ruang bagi anak untuk menemukan cerminan diri mereka dalam tokoh, latar, dan nilai-nilai cerita.
Anak-anak yang tumbuh dengan cerita yang dekat dengan lingkungan sosial dan budaya mereka akan lebih mudah menginternalisasi nilai-nilai luhur yang hidup dalam masyarakat.
Kehadiran cerita rakyat dalam buku bacaan anak juga memperkuat literasi budaya. Anak-anak tidak hanya diajak membaca cerita, tetapi juga mengenal warisan adat seperti sistem kekerabatan matrilineal, makna penghormatan terhadap mamak (paman dari ibu), serta peran penting rumah gadang dalam kehidupan komunal.
Ketika cerita rakyat seperti “Bujang Paman” atau “Si Kambang” dihidupkan kembali dengan pendekatan naratif yang menyenangkan, maka nilai-nilai tersebut secara alami tertanam dalam pikiran dan perasaan anak.
Penulisan sastra anak berbasis cerita rakyat juga membuka peluang besar bagi pengembangan ekosistem literasi daerah yang berkelanjutan.
Cerita-cerita ini bisa dikembangkan menjadi serial buku, program dongeng di sekolah, atau konten animasi lokal yang ditayangkan melalui kanal digital.
Bahkan lebih jauh, cerita rakyat bisa dijadikan dasar penciptaan storytelling board game edukatif berbasis budaya Minang yang bisa dimainkan di kelas atau di rumah. Inovasi ini tidak hanya menjaga agar cerita terus hidup, tetapi juga menjadikannya relevan di mata anak-anak masa kini.
Di tengah arus digitalisasi, penting juga untuk memikirkan bagaimana cerita rakyat Minangkabau bisa diadaptasi ke dalam media digital interaktif. E-book anak, video animasi pendek, atau aplikasi cerita bergambar interaktif berbasis cerita rakyat bisa menjadi jembatan antara warisan masa lalu dengan teknologi masa depan.
Namun dalam pengembangannya, penting untuk tetap melibatkan budayawan lokal dan pendongeng tradisional agar makna cerita tidak tereduksi menjadi sekadar hiburan.
Semangat menjaga marwah nagari melalui sastra anak dapat diperkuat lewat integrasi dalam kegiatan formal maupun non-formal.
Di sekolah, guru bisa menjadikan cerita rakyat sebagai bahan pembelajaran lintas mata pelajaran. Di luar sekolah, komunitas literasi, perpustakaan desa, dan sanggar seni bisa menjadikannya sebagai bahan eksplorasi kreatif dalam bentuk pertunjukan, lomba menggambar ilustrasi cerita, hingga festival dongeng.
Semakin banyak ruang yang diberikan untuk cerita rakyat dalam kehidupan anak-anak, semakin kuat pula daya hidup budaya tersebut di masa depan.
Ke depan, perlu ada perhatian khusus dari para pemangku kebijakan dan pemimpin adat untuk melihat sastra anak sebagai bagian integral dari pelestarian budaya.
Insentif bagi penulis dan ilustrator lokal, pendanaan untuk proyek literasi budaya, serta program pelatihan penulisan sastra anak berbasis tradisi perlu terus dikembangkan.
Karena sesungguhnya, menjaga cerita rakyat bukan hanya soal mengenang masa lalu, tetapi soal menanamkan nilai-nilai yang bisa menjadi kompas moral dan kultural generasi yang akan datang.
Menulis ulang cerita rakyat Minangkabau dalam bentuk sastra anak bukanlah pekerjaan ringan, namun ia adalah bentuk penghormatan pada akar budaya, dan investasi nilai untuk masa depan.
Setiap dongeng yang ditulis dengan hati adalah jejak kecil menuju marwah nagari yang tetap menyala, bahkan di tengah dunia yang berubah dengan cepat. (***/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih