![]() |
Foto Penulis |
Oleh : Hanifa Nur Hajjah, Sastra Minangkabau, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
---------------------------
MINANGKABAU merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki warisan budaya yang sangat kaya, baik dari segi adat, seni maupun bahasa.
Di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau, penggunaan peribahasa menjadi bagian yang sangat penting dalam menyampaikan nilai-nilai moral, sindiran halus, hingga petuah bijak kepada generasi muda.
Salah satu peribahasa yang sarat makna dan cukup kritis terhadap perubahan zaman adalah Daulu rabab nan batangkai, kini cubadak nan babungo. Daulu adat nan bapakai, kini lagak nan paguno.
Peribahasa ini menjadi semacam peringatan sekaligus refleksi dari perubahan zaman. Masyarakat Minangkabau terkenal dengan filsafat hidupnya yang disebut adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, yaitu sebuah sistem nilai yang menjadikan adat dan agama Islam sebagai landasan utama dalam menjalani kehidupan.
Namun, seiring berjalannya waktu, perubahan sosial dan pengaruh globalisasi mempengaruhi cara berpikir dan cara bertindak generasi muda.
Peribahasa ini menyuarakan kegelisahan terhadap realitas tersebut, yaitu hilangnya esensi dan makna sejati dari budaya dan adat yang dulu dijunjung tinggi.
Untuk lebih memahami makna dari peribahasa ini, diperlukan menelaah tiap unsurnya. Kalimat pertama, “Daulu rabab nan batangkai”, merujuk pada alat musik gesek tradisional Minangkabau rabab. Rabab yang batangkai artinya rabab yang masih utuh, bertangkai dan dapat digunakan sebagai alat musik pengiring dalam menyampaikan kaba atau cerita tradisional.
Rabab di dalam peribahasa itu bukan hanya sekadar alat musik saja, melainkan simbol dari kebudayaan yang utuh dan bermakna. Di zaman dulu, rabab digunakan untuk mendendangkan kisah-kisah para leluhur, petuah bijak, serta sejarah yang menjadi identitas kolektif masyarakat.
Kalimat setelah itu adalah, “Kini cubadak nan babungo”, merujuk pada cubadak atau buah nangka yang sedang berbunga, tetapi belum berbuah. Dalam dunia pertanian, nangka yang berbunga belum tentu akan menghasilkan buah.
Ini merupakan sebuah kiasan bagi sesuatu yang tampaknya indah, menarik, dan menjanjikan, tetapi ternyata kosong atau tidak menghasilkan nilai yang berarti. Ini menggambarkan pergeseran dari budaya yang sarat akan makna menjadi sesuatu yang hanya tampak secara permukaan saja.
Selanjutnya, bagian kedua dari peribahasa ini semakin memperjelas makna kritik yang disampaikan. “Daulu adat nan bapakai” merujuk pada praktik adat yang hidup dan menjadi pedoman perilaku masyarakat.
Adat pasti selalu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam hubungan sosial, pernikahan, musyawarah, hingga penyelesaian konflik. Adat bukan hanya sekedar simbol, melainkan sesuatu yang dipakai dan dihidupkan.
Sementara itu, “Kini lagak nan paguno” menyatakan bahwa yang diutamakan kini bukan lagi substansi adat, tetapi hanya penampilan atau gaya yang dianggap menguntungkan atau mengesankan.
“Lagak” di sini mengacu pada tampilan luar, gaya hidup, atau aksi yang bertujuan menarik perhatian, sementara “paguno” berarti dianggap berguna atau menguntungkan, meskipun manfaatnya sering kali semu.
Maka, peribahasa ini menyuarakan keprihatinan terhadap masyarakat yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur dan lebih mementingkan gaya hidup hedonistik dan citra luar.
Peribahasa ini menjadi sangat relevan ketika kita mencermati realitas masyarakat Minangkabau masa kini. Dengan adanya perubahan zaman, globalisasi, perkembangan teknologi dan arus budaya luar yang masuk dengan deras telah menggeser banyak nilai tradisional yang dulunya menjadi fondasi kehidupan.
Generasi muda lebih banyak yang mengenal budaya pop Korea, gaya hidup barat, atau tren media sosial daripada nilai-nilai adat Minang. Dulu, anak-anak muda belajar tentang kehidupan melalui kaba, pepatah-petitih, dan petuah dari mamak (paman dari pihak ibu), kini lebih banyak belajar dari video TikTok dan konten viral yang belum tentu mendidik.
Dulu, seseorang dihormati karena kearifan, pengabdiannya kepada kaum serta kontribusi terhadap nagari, kini banyak yang dihargai karena penampilan, kekayaan, atau popularitas di media sosial.
Adat kini perlahan berubah menjadi simbol mati yang hanya digunakan saat perayaan atau seremoni, tanpa pemahaman dan penghayatan yang mendalam.
Dalam sistem sosial Minangkabau, niniak mamak memiliki peran strategis sebagai pemimpin dalam kaum dan penjaga adat. Akan tetapi, kini banyak niniak mamak yang tidak lagi menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Sebagian menjadi pasif atau bahkan tidak paham lagi dengan isi adat yang seharusnya mereka jaga. Banyak juga pemuda yang tidur mau mendengarkan petuah orang tua karena dianggap ketinggalan zaman.
Di sinilah pergeseran dari “adat nan bapakai” menjadi “lagak nan paguno” menjadi semakin nyata. Ketika yang diutamakan hanyalah “lagak” atau gaya hidup yang memberi manfaat sesaat, masyarakat kehilangan arah dan identitasnya sebagai pewaris budaya luhur.
Di lain sisi, peribahasa ini bukanlah semata-mata sebuah keluhan terhadap zaman, melainkan juga ajakan untuk merenung dan kembali pada nilai-nilai asli.
Bukan berarti kita harus menolak modernitas, tetapi penting untuk menjaga agar budaya kita tidak terpinggirkan dalam arus kemajuan.
Modernitas dan adat tidak harus bertentangan, melainkan bisa saling menguatkan bila dikelola dengan bijak. Contohnya, teknologi bisa digunakan untuk melestarikan adat dan budaya.
Banyak pemuda Minangkabau kreatif yang mulai mendokumentasikan kisah dari kaba dalam bentuk video animasi atau mendendangkan syair-syair lama dengan musik modern tanpa menghilangkan pesan moralnya.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, peribahasa ini juga menjadi kritik terhadap budaya instan dan pragmatisme yang merajalela. Masyarakat Minangkabau kini sering kali hanya mengejar hasil cepat, tanpa proses yang bermakna.
Banyak orang ingin sukses tanpa kerja keras, ingin dihormati tanpa kontribusi, ingin terkenal tanpa prestasi. Semua itu merujuk kepada peribahasa “cubadak nan babungo” tampak menjanjikan, tetapi tidak berbuah.
Kita perlu kembali mengajarkan pentingnya proses, nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan, dan kerja sama sebagai bagian dari kehidupan yang bermakna. (**/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih