KRI Teluk Bone, Kapal Perang yang Terlupakan di Pantai Pariaman

0
Foto Instagram info padang


Di bibir pantai Kota Pariaman, Sumatera Barat, sebuah kapal perang besar tampak teronggok, berkarat, dan perlahan melapuk dihantam ombak. 

------------------


Kapal itu adalah KRI Teluk Bone, kapal perang hibah pemerintah yang dahulu digadang-gadang menjadi ikon wisata bahari Pariaman. Sayangnya, kini kapal itu seakan menjadi “bangkai besi” yang tak terurus.


KRI Teluk Bone bukanlah kapal sembarangan. Ia pernah menjadi bagian armada TNI Angkatan Laut, berlayar mengawal perairan Nusantara. Setelah masa tugasnya selesai, pemerintah pusat menghibahkan kapal itu kepada Kota Pariaman dengan harapan dapat dimanfaatkan kembali sebagai penopang wisata dan edukasi sejarah maritim.


Rencana awalnya, kapal tersebut akan dijadikan museum bahari terapung. Pemerintah Kota Pariaman bersama sejumlah tokoh masyarakat membayangkan, KRI Teluk Bone bisa menjadi daya tarik wisata baru di samping pantai-pantai indah, penangkaran penyu, serta pulau-pulau kecil yang dimiliki Pariaman.


Untuk mewujudkan rencana itu, kapal kemudian diderek dari Surabaya menuju Pariaman. Biaya penarikan kapal pun tidak kecil, tercatat mencapai sekitar Rp2 miliar rupiah. Angka yang cukup besar untuk ukuran daerah, dan kala itu menjadi buah bibir masyarakat.


Kedatangan KRI Teluk Bone ke Pariaman sempat disambut gegap gempita. Banyak yang optimis bahwa kapal besar tersebut akan menjadi ikon baru kota dan memberikan nilai tambah dalam dunia pariwisata. Harapan itu semakin kuat karena Pariaman memang sedang gencar membangun destinasi berbasis bahari.


Namun, kenyataan tidak seindah rencana. Setelah beberapa lama bersandar di bibir pantai, kapal tersebut tidak kunjung dijadikan museum. Proses revitalisasi yang dibayangkan tak pernah berjalan sesuai harapan. Perlahan, kapal besar itu mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan.


Besi kapal berkarat, catnya mengelupas, dan lambungnya rapuh dihantam ombak. Tak ada aktivitas berarti yang dilakukan di sana, kecuali sesekali menjadi latar foto bagi wisatawan yang penasaran. Kapal yang seharusnya menjadi kebanggaan, kini lebih menyerupai monumen keterlantaran.


Masyarakat Pariaman pun bertanya-tanya. Apa sebenarnya kendala yang membuat proyek museum bahari ini tidak kunjung terwujud? Apakah karena keterbatasan anggaran? Atau ada persoalan regulasi yang membuat pengelolaan kapal terbengkalai?


Beberapa aktivis pariwisata menyayangkan kondisi tersebut. Mereka menilai, jika saja KRI Teluk Bone ditata dan dikelola dengan baik, maka ia bisa menjadi ikon unik yang membedakan Pariaman dari daerah lain. Tidak semua kota memiliki kapal perang asli yang bisa dijadikan objek wisata.


Info grafis


Selain nilai wisata, keberadaan KRI Teluk Bone juga bisa menjadi media edukasi sejarah dan maritim. Anak-anak sekolah hingga mahasiswa bisa belajar tentang dunia kemiliteran, teknologi kapal, dan sejarah angkatan laut Indonesia. Semua itu kini tinggal angan-angan.


Kondisi kapal yang semakin memprihatinkan menimbulkan kekhawatiran. Jika terus dibiarkan, kapal bisa rusak total dan akhirnya hilang ditelan laut. Padahal biaya yang sudah dikeluarkan cukup besar, dan akan sangat disayangkan jika investasi tersebut berakhir sia-sia.


Sejumlah pihak mendorong agar pemerintah kota maupun provinsi segera mengambil langkah. Apakah kapal itu tetap akan dijadikan museum bahari seperti rencana awal, atau setidaknya dijadikan monumen statis yang aman dari hempasan ombak. Yang jelas, jangan sampai dibiarkan membusuk begitu saja.


Kapal ini sebenarnya masih bisa diselamatkan, asalkan ada keseriusan dan komitmen. Renovasi dan penataan memang membutuhkan biaya besar, tetapi manfaat jangka panjangnya untuk pariwisata dan edukasi akan jauh lebih bernilai.


Pariaman yang kini berkembang sebagai kota wisata sejatinya membutuhkan ikon-ikon khas. Pantai dan pulau sudah menjadi daya tarik utama, tetapi keberadaan KRI Teluk Bone bisa menambah magnet wisata. Sebuah simbol bahwa Pariaman tidak hanya memiliki keindahan alam, tetapi juga catatan sejarah bahari.


Sayangnya, sampai hari ini, nasib kapal tersebut tetap belum jelas. Ombak terus menghantam, karat semakin menebal, dan KRI Teluk Bone seakan hanya menunggu waktu untuk benar-benar hancur. Sebuah warisan yang mestinya bisa dimanfaatkan, kini justru menjadi beban.


Cerita KRI Teluk Bone di Pariaman bisa menjadi pelajaran penting tentang tata kelola aset hibah. Tanpa perencanaan matang, sebuah peluang besar bisa berubah menjadi masalah. Kapal yang seharusnya mendatangkan wisatawan, justru menjadi pemandangan yang menimbulkan pertanyaan.


Masyarakat masih berharap ada perubahan. Mereka ingin melihat KRI Teluk Bone bangkit dari keterpurukan, berdiri megah sebagai museum bahari, atau minimal ditata agar layak menjadi objek wisata. Harapan itu mungkin belum padam, meski kenyataan masih kelam.


Kini, bola ada di tangan pemerintah daerah dan pusat. Apakah KRI Teluk Bone akan dibiarkan lenyap oleh waktu, atau justru diselamatkan untuk generasi mendatang? Waktu akan menjawabnya. Yang jelas, sejarah sedang menunggu keputusan. (***/redaksi-dirangkum dari berbagai sumber)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top