Panjat Batang Pinang Bagomok: Filosofi Perjuangan dari Ranah Minang

0
Pemanjat pinang bagomok sampai puncak yang sudah bergelantungan hadiah menarik. Foto.Suara Malang


SETIAP tanggal 17 Agustus, nagari-nagari di Ranah Minang ikut larut dalam kemeriahan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. 


Dari lereng bukit hingga tepian pantai, masyarakat beramai-ramai menggelar alek nagari yang penuh hiburan. Salah satu yang paling dinanti tentu saja lomba panjat batang pinang bagomok, sebuah tradisi yang bukan sekadar permainan, tapi menyimpan filosofi dalam tentang hidup dan perjuangan.


Batang pinang yang ditancapkan menjulang tinggi, dilumuri dengan oli bekas hingga licin bak ular basah, adalah tantangan bagi setiap anak nagari yang berani mencoba. 


Di atasnya, tergantung hadiah-hadiah sederhana; sabun, sarung, minyak goreng, bahkan ada pula sepeda. Walau sederhana, hadiah itu menjadi lambang harapan, seperti cita-cita yang tampak jauh di puncak kehidupan.


“Alah… licin bana oi, macam manolah kawan den ka sampai ka ateh tu!” celetuk seorang peserta sambil tertawa, tubuhnya penuh oli hingga mengkilat di bawah terik matahari. 


Penonton pun tergelak, sebagian berteriak memberi semangat, sebagian lagi menertawakan jatuh bangun mereka. Beginilah khasnya alek nagari, penuh tawa sekaligus penuh makna.


Dalam masyarakat Minangkabau, ada pepatah yang berbunyi "sakik-sakik mananti juo indak ka lamak, manang-manang jo samo-samo." Maknanya, setiap kesusahan akan terbayar jika dikerjakan bersama. 


Filosofi itu tampak nyata dalam panjat pinang, ketika tubuh satu orang menjadi pijakan bagi yang lain, dan hanya dengan gotong royong hadiah di puncak bisa digapai.


Sorak-sorai penonton yang memenuhi halaman nagari membuat suasana semakin hidup. Anak-anak kecil berlarian sambil berteriak, “Ayo uda! Sedikit lai, dapek sabun tu!” Para ibu menepuk tangan, sementara seorang nenek tua berkomentar, “Dulu jo, panjat pinang pun ado jo hadiah panci. Kini alah gadang-gadang hadiahnyo.” Kata-kata itu membuat orang di sekitarnya tertawa kecil, mencairkan suasana.


Tak jarang, peserta yang sudah berpeluh keringat harus jatuh bangun berkali-kali. Batang pinang bagomok itu seperti kehidupan, kadang memberi harapan, kadang pula menjerumuskan. Namun tak ada yang menyerah. 


Setiap kali jatuh, mereka bangkit kembali. “Ado dek semangat, awak jatuh pun ndak masalah. Jan lupo, urang Minang ndak pernah takut mancoba!” ujar seorang pemuda yang penuh lumpur oli, disambut sorak sahabat-sahabatnya.


Yang berada di bawah harus rela tubuhnya jadi tumpuan. Mereka berjongkok, menahan beban teman-temannya di atas. Sementara yang berada di atas harus cekatan, menjaga keseimbangan, dan berusaha keras meraih hadiah. Inilah makna gotong royong yang sesungguhnya: saling menopang, saling menguatkan, dan rela berkorban demi satu tujuan bersama.


Panjat batang pinang bagomok bukan hanya tontonan rakyat, tapi juga guru kehidupan. Ia mengajarkan bahwa tak ada puncak yang bisa digapai sendirian. Sama seperti perjuangan kemerdekaan, para pejuang bangsa bahu-membahu, jatuh bangun, hingga akhirnya bendera Merah Putih bisa berkibar di langit merdeka.


Di tengah perubahan zaman, tradisi ini tetap bertahan di nagari-nagari Minangkabau. Anak-anak muda yang mungkin sehari-hari akrab dengan gawai, pada bulan Agustus turun ke lapangan, merasakan tawa dan peluh bersama teman-temannya. Di situlah nilai kebersamaan dipupuk, agar tidak hilang ditelan arus modernisasi.


Maka, setiap kali batang pinang menjulang di lapangan nagari pada bulan Agustus, jangan hanya kita pandang sebagai lomba rakyat. Anggaplah ia sebagai pengingat, bahwa selama kita mau bersatu, bergotong royong, dan tak gentar menghadapi kesulitan, maka apa pun cita-cita bangsa ini—betapapun licinnya jalan—akan bisa kita capai. (***/)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top