![]() |
| KDM Belanja Sembako di Padang. Foto. Langgam.Id |
Di tengah suasana duka pasca banjir dan tanah longsor yang melanda Sumatera Barat, hadir sosok yang datang bukan hanya membawa bantuan, tetapi juga menghadirkan rasa harapan.
--------------
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, atau yang akrab disapa Kang Dedi, tiba di Padang dengan cara yang tak biasa: bukan sekadar menyalurkan bantuan, tapi juga menggerakkan ekonomi warga yang sedang terdampak bencana.
Kang Dedi bukan datang dengan truk besar bermuatan bantuan dari luar daerah. Ia justru memilih masuk ke pasar-pasar di Padang, menyapa pedagang, lalu membeli kebutuhan pengungsi langsung dari toko-toko warga yang sedang mengalami penurunan omzet pascabanjir. Pilihannya sederhana, tetapi bermakna luar biasa: membantu sambil menghidupkan usaha kecil.
Biasanya, bantuan untuk korban bencana sudah dikemas rapi dari daerah asal, lengkap dengan jenis dan sumber barangnya. Namun Kang Dedi tidak memilih jalan itu.
Ia melihat banyak warga yang bukan hanya kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan pembeli. Maka ia mengambil keputusan: bantuan harus dibeli dari korban bencana itu sendiri, agar mereka tetap bisa berjualan, tetap berputar roda ekonomi.
Mulai dari beras, mi instan, minyak goreng, hingga kebutuhan rumah tangga seperti pasta gigi, pakaian dalam, dan selimut, semuanya dibeli langsung dari pedagang setempat. Tidak satu pun ia bawa dari Jawa Barat. Bahkan sampai hal kecil seperti sikat gigi pun harus dibeli di toko kota yang ditimpa musibah.
“Kalau beli di luar daerah, pedagang sini makan apa?” begitu kira-kira semangat yang dibawa Kang Dedi. Kalimat yang mungkin terdengar sederhana, tetapi esensinya menyentuh: bantuan tidak hanya untuk mereka yang kehilangan rumah, tapi juga untuk mereka yang kehilangan penghasilan.
Sentuhan kemanusiaan Kang Dedi ini tidak berhenti pada kebutuhan pokok saja. Ia bahkan berbelanja ribuan nasi bungkus dari rumah makan Padang legendaris, Lamun Ombak.
Sebanyak 1.000 bungkus nasi diberikan kepada pengungsi, dengan menu rendang, gulai, dan sambal khas Minang. “Biar pengungsi makan enak, bukan sekadar kenyang,” ucapnya.
Langkah itu menjadi cerita yang dipuji banyak warga. Di saat sebagian bantuan kadang hanya menjadi tumpukan yang tak tersentuh, Kang Dedi justru memastikan bantuan itu sekaligus menggerakkan dapur usaha masyarakat.
Ada rasa haru dari para pekerja warung yang kembali sibuk menanak nasi, memasak gulai, dan membungkus pesanan.
Bukan hanya warung makan. Pedagang sembako tersenyum, toko pakaian kembali ramai, hingga pengusaha rendang pun ikut merasakan berkah.
Beberapa pedagang mengaku sudah pasrah sepi pembeli, namun tiba-tiba dagangan ludes untuk kebutuhan korban bencana. Rezeki yang datang tepat di tengah musibah.
Yang menarik, setelah berbelanja untuk Sumatera Barat, Kang Dedi juga membeli rendang dalam jumlah besar untuk diberikan kepada masyarakat Aceh yang terdampak bencana.
Rendang khas Minangkabau itu akan pergi jauh, menembus pesisir, membawa pesan solidaritas antardaerah. Bantuan itu bukan hanya barang, tapi cerita bahwa sesama daerah bisa saling menguatkan.
Cara bekerja Kang Dedi seolah mengajarkan bahwa empati tidak berhenti pada memberi, tetapi harus pula menghidupkan. Bantuan bukan sekadar menumpuk barang di posko, melainkan memutar roda ekonomi warga yang sedang rapuh.
Ia mendekat, melihat, berbicara, dan membeli. Semua langkah kecil yang dirancang untuk menumbuhkan harapan.
Tidak ada protokol rumit, tidak ada jarak antara pejabat dan rakyat. Ia hadir seperti keluarga yang datang membantu membereskan rumah yang kebanjiran, sambil belanja di warung tetangga. Cara sederhana itu ternyata mencatat cerita besar di tengah duka Sumatera Barat.
Di sela-sela kepedulian itu, warga menyadari bahwa kemanusiaan tidak harus selalu berslogan. Terkadang, ia hadir dari tindakan spontan yang berpihak pada pedagang kecil, pada perputaran ekonomi lokal, pada rasa bangga terhadap kota sendiri. Sumatera Barat tetap berdiri dengan harga diri, tak hanya dijuluki sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai penyedia rezeki.
Maka, di tengah lumpur dan puing-puing pascabanjir, ada senyum yang kembali tumbuh. Berkat kedatangan seorang pemimpin dari daerah tetangga, yang memilih untuk membeli dulu sebelum memberi.
Dalam suasana seperti itu, bantuan menjadi lebih dari sekadar materi. Ia menjelma menjadi penghargaan, penghormatan, dan pengakuan bahwa Sumatera Barat layak bangkit dengan kekuatannya sendiri.
Dan di momen itu, Kang Dedi tidak sekadar membawa bantuan. Ia membawa cara pandang baru tentang empati: bantu sambil menghidupkan.
Begitulah berkah kedatangannya. Tidak hanya untuk pengungsi, tetapi juga untuk tukang rendang, pedagang sembako, rumah makan kecil, dan toko kelontong yang kembali percaya, bahwa rezeki bisa datang dari cara memberi yang tidak biasa. (**/darwisman)


Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih