Strategi Pengawasan Pemilu Pasca Putusan MK : Menjawab Tantangan Pemilihan Serentak Legislatif dan Kepala Daerah

0

 

Kantor Bawaslu Padang Pariaman, Provinsi Sumatera Barat


Oleh : Darwisman

------------------------


Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan bahwa Pemilihan Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan secara serentak dengan Pemilihan Kepala Daerah menjadi tonggak baru dalam sejarah demokrasi elektoral Indonesia. 


Keputusan ini tentu menimbulkan konsekuensi besar terhadap sistem pengawasan pemilu yang selama ini berjalan terpisah.


Bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan seluruh jajarannya di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga desa, putusan ini menjadi tantangan baru yang memerlukan strategi pengawasan yang lebih komprehensif, adaptif, dan antisipatif.


Mahkamah Konstitusi beralasan bahwa pelaksanaan pemilihan legislatif tingkat daerah secara bersamaan dengan pilkada dimaksudkan untuk mengefisiensikan anggaran negara, menghindari beban kerja berulang bagi penyelenggara pemilu, serta memaksimalkan partisipasi publik dalam satu momentum elektoral.


Di atas kertas, keputusan ini tampak logis dan efisien. Namun dalam pelaksanaannya, ada banyak tantangan yang harus dijawab, terutama dari sisi pengawasan yang menyeluruh dan profesional.


Salah satu tantangan terbesar adalah potensi kerancuan di masyarakat. Ketika pemilihan legislatif lokal dan pemilihan kepala daerah digelar bersamaan, dikhawatirkan masyarakat akan mengalami kebingungan dalam menentukan pilihan dan memahami perbedaan tugas serta kewenangan calon yang mereka pilih.


Selain itu, tumpang tindih kampanye antara calon anggota DPRD dan calon kepala daerah sangat mungkin terjadi. Mereka bisa saja berbagi panggung kampanye, mengaburkan batas peran dan menciptakan kampanye terselubung yang sulit dipantau secara objektif.


Dalam konteks ini, beban pengawasan terhadap pelaksanaan tahapan pemilu menjadi semakin berat. Para Pengawas Kelurahan/Desa (PKD), Panwaslu Kecamatan hingga Bawaslu Kabupaten/Kota harus bekerja ekstra dalam memantau praktik kampanye, termasuk mengantisipasi potensi politik uang yang lebih masif.


Kegiatan money politic yang dilakukan oleh calon legislatif maupun calon kepala daerah harus menjadi fokus utama pengawasan. Sebab, dalam momentum serentak, potensi “simbiosis mutualisme” antara keduanya dalam mendulang suara dengan cara yang tidak sah bisa terjadi dengan lebih leluasa.


Oleh sebab itu, penting kiranya memberikan kewenangan lebih kepada Panwaslu Kecamatan agar dapat melakukan tindakan langsung di lapangan ketika ditemukan indikasi pelanggaran pemilu. Saat ini, banyak laporan yang terhambat karena keterbatasan kewenangan yang hanya bersifat administratif.


Kewenangan tambahan bisa berupa hak untuk menindak secara langsung, memberikan peringatan resmi di tempat, hingga melakukan koordinasi cepat dengan aparat penegak hukum melalui Sentra Gakkumdu jika terjadi pelanggaran pidana pemilu.


Di sisi lain, efektivitas pengawasan juga sangat bergantung pada komitmen dan fokus penuh dari para pengawas. Karena itu, pengawas pemilu di semua tingkatan seharusnya tidak lagi diperkenankan menjalankan pekerjaan ganda atau double job seperti menjadi dosen, guru honorer, operator sekolah, atau perangkat desa.


Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pengawas yang merangkap profesi lain seringkali tidak bisa menjalankan tugas pengawasan secara optimal. Padahal, mereka adalah garda terdepan dalam memastikan pemilu yang jujur dan adil.


Pengawas pemilu juga harus benar-benar independen. Oleh karena itu, sudah semestinya mereka melepaskan keanggotaan dari organisasi yang memiliki potensi konflik kepentingan seperti KNPI, Karang Taruna, atau organisasi sosial politik lainnya.


Kemerdekaan berpikir dan bertindak sebagai pengawas pemilu adalah kunci menjaga integritas proses demokrasi. Pengawas yang masih aktif dalam organisasi tertentu dikhawatirkan akan memiliki loyalitas ganda.


Selain itu, penting untuk menyesuaikan jumlah personel pengawas dengan beban wilayah kerja. Saat ini, jumlah anggota Panwaslu Kecamatan sebanyak tiga orang sangat tidak memadai untuk wilayah dengan banyak desa dan jumlah TPS yang besar. Idealnya, ditambah menjadi lima orang.


Begitu pula dengan PKD di tingkat desa. Satu orang pengawas desa jelas tidak cukup. Ke depan, paling tidak dua orang PKD ditugaskan di setiap desa agar pelaksanaan pengawasan lebih merata dan efektif.


Terakhir, sistem pelaporan hasil pengawasan harus segera terintegrasi secara digital dan real-time. Dengan pelaporan online, setiap dugaan pelanggaran bisa segera ditindaklanjuti dan proses penegakan hukum pemilu berjalan lebih cepat serta transparan.


Penggabungan pemilihan legislatif dan eksekutif tingkat daerah memang membawa tantangan baru, namun bukan tidak mungkin disiasati dengan penguatan strategi pengawasan, peningkatan SDM, serta penyesuaian struktur kelembagaan di tubuh Bawaslu.


Untuk itu, perlu komitmen bersama dari seluruh stakeholder, mulai dari pemerintah, DPR, KPU, Bawaslu, hingga masyarakat sipil agar penyelenggaraan pemilu serentak di tingkat daerah benar-benar menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang berintegritas.


Pemilu bukan sekadar pesta demokrasi, melainkan juga ujian bagi konsistensi dan kualitas pengawasan kita. Jika strategi pengawasan dirancang dengan matang, maka pemilu serentak ini bisa menjadi momentum emas untuk memperkuat demokrasi lokal di Indonesia. (**/)


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top