UAS: Antara Nilai, Tekanan, dan Menjadi Manusia

0

Oleh : Nurul Fadila,  Prodi Sastra Minangkabau Universitas Andalas 


Foto Penulis


UJIAN Akhir Semester—atau yang lebih akrab disebut UAS—mungkin sudah bukan lagi hal yang mengejutkan bagi mahasiswa. Namun tetap saja, setiap kali datang, UAS seolah membawa aura horor tersendiri. 


Grup chat ramai dipenuhi keluhan, meme, atau doa kolektif agar para dosen berbaik hati, dan nilai akhir tidak mengkhianati perjuangan satu semester penuh.


UAS bukan sekadar ujian tulis atau angka di atas kertas. Ia adalah masa singkat yang penuh tekanan, malam-malam begadang, kopi tanpa gula, dan pertanyaan eksistensial yang mendadak muncul: “Kenapa sih aku kuliah?” Lucu, tapi relate banget.


Tekanan yang Datang dari Segala Arah


Setiap akhir semester, mahasiswa dihantam gelombang tugas yang datang bersamaan: makalah belum selesai, presentasi yang menumpuk, proyek akhir yang menuntut detail, dan UAS yang tinggal menghitung hari. Waktu terasa makin sempit, energi makin tipis.


Sebagian memilih belajar dari pagi sampai larut malam, sebagian lagi merasa lebih produktif di kafe. Uniknya, banyak mahasiswa yang justru baru benar-benar menyentuh materi kuliah saat masa UAS—jadilah pekan-pekan ini semacam sprint akademik mendadak. Sat, set, ciat, siuuu.


Namun, tekanan UAS tak berhenti di situ. Ia datang pula dari arah sosial: persaingan nilai, tuntutan beasiswa, ekspektasi orang tua, bahkan tekanan dari standar diri sendiri. 


“Kalau IP-ku turun semester ini, aku gagal.” Kalimat seperti ini sering menghantui, meski pada kenyataannya, tidak semua hal bisa kita kendalikan. Dan ketika semuanya terasa terlalu berat, kalimat pamungkas pun muncul: “Nanti kita balas di semester depan.”


Dampak Psikologis yang Sering Diabaikan


Tak bisa dimungkiri, UAS memberikan dampak nyata pada kondisi fisik dan mental mahasiswa. Pola tidur berantakan, makan seadanya, dan tubuh dipaksa bekerja di luar kapasitas. Kopi menjadi sahabat, tapi juga sumber panik yang tertunda.


Burnout jadi fenomena umum. Banyak yang kelelahan, cemas berlebihan, kehilangan motivasi, bahkan merasa hampa. Di luar, mungkin terlihat biasa saja. Tapi di balik layar laptop yang menyala terus-menerus, ada tubuh dan pikiran yang sedang menjerit minta istirahat.


Ironisnya, dalam budaya akademik kita, istirahat sering dianggap sebagai kemewahan. Padahal, ia seharusnya menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar.


Relevansi UAS di Tengah Dunia yang Terus Bergerak


Muncul pertanyaan kritis: “Masih relevankah UAS sebagai penilaian utama dalam sistem akademik?”


Banyak UAS masih berfokus pada hafalan dan pengulangan, bukan pada analisis atau penyelesaian masalah. Padahal di dunia nyata, kemampuan berpikir kritis dan adaptasi jauh lebih dibutuhkan.


Sistem yang menyamakan nilai dengan kualitas mahasiswa menciptakan ketimpangan. Mereka yang berkembang secara utuh namun tak mencetak angka tinggi kerap dianggap gagal. 


UAS akhirnya berubah menjadi ritual tahunan untuk bertahan hidup, bukan untuk berkembang.


Menghadapi UAS dengan Cara yang Lebih Sehat


Meski terasa berat, UAS bisa dihadapi dengan cara yang lebih sehat dan manusiawi. Berikut beberapa cara yang mungkin bisa membantu:

  1. Buat rencana belajar yang realistis. Belajar terstruktur jauh lebih efektif daripada maraton semalam suntuk.
  2. Tidur cukup. Otak butuh istirahat untuk bekerja maksimal.
  3. Makan bergizi dan cukup minum. Jangan remehkan pengaruh makanan sehat dalam menjaga fokus dan mood.
  4. Berikan ruang untuk istirahat. Jalan-jalan sebentar, nonton film ringan, atau ngobrol santai bisa menyegarkan pikiran.
  5. Validasi perasaanmu. Merasa cemas, lelah, takut—semua itu normal. Jangan bandingkan perjalananmu dengan orang lain.


Dan yang paling penting: nilai bukan segalanya. Kesehatan mental dan harga diri jauh lebih penting. Kamu punya waktu dan jalurmu sendiri. Usaha semaksimal mungkin, lalu serahkan sisanya kepada Tuhan. Karena kamu sudah berjuang.


UAS Bukan Akhir Segalanya


UAS adalah bagian dari perjalanan, tapi ia bukan satu-satunya penentu arah hidupmu. Angka di kertas tidak mampu merangkum keseluruhan prosesmu: kerja kerasmu, niat baikmu, malam-malam panjangmu, dan keberanianmu untuk tetap bertahan.


Menjadi mahasiswa bukan sekadar soal nilai, tapi tentang belajar mengenali dan mengelola diri. Ketika UAS datang, sambutlah ia bukan sebagai musuh, tapi sebagai bagian dari proses pendewasaan. Kamu lebih dari cukup. Kamu lebih dari sekadar angka. Dan percayalah, kamu akan baik-baik saja. (**/)


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top