Pemalakan Liar kepada Sopir : Cermin Kegagalan Penegakan Hukum di Jalanan

0

 

Penulis

Oleh :  FX. Hastowo Broto Laksito, Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta

----------


Pemalakan liar terhadap sopir angkutan umum dan truk logistik merupakan kejahatan yang terus berulang di Indonesia. 


Meski tergolong tindak pidana, praktik ini seolah dibiarkan hidup di pinggir-pinggir jalan dan terminal, seakan hukum tak mampu menembus realitas lapangan. 


Padahal, jika merujuk pada sistem hukum nasional, pemalakan ini adalah pelanggaran terang-terangan terhadap hukum pidana dan hak asasi warga negara.


Dalam hukum pidana Indonesia, praktik pemalakan termasuk dalam kategori pemerasan dan pengancaman, sebagaimana diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) :


"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, seluruhnya atau sebagian milik orang itu... diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."


Dengan demikian, setiap aksi meminta uang dari sopir dengan tekanan atau ancaman – baik dari preman, oknum ormas, atau bahkan aparat – merupakan tindakan melawan hukum yang layak ditindak secara pidana. Bukan sekadar pelanggaran etik atau administrasi.


Namun yang jadi soal, penegakan hukum terhadap kejahatan ini lemah. Laporan-laporan seringkali mandek, korban takut bicara, dan pelaku merasa kebal karena memiliki “kedekatan” dengan kekuasaan setempat.


Pemalakan liar bukan hanya perkara kriminal. Ini juga menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dan prinsip negara hukum. 


Dalam Pasal 28G UUD 1945, setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi dan rasa aman. Ketika sopir dipalak dan tidak ada perlindungan dari negara, itu artinya hak konstitusional mereka dirampas.


Lebih jauh, Indonesia sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) seharusnya menjamin bahwa hukum berlaku bagi siapa pun tanpa pandang bulu. Fakta bahwa banyak pelaku pemalakan dibiarkan bebas adalah pengkhianatan terhadap prinsip ini.


Alasan Mengapa penegakan hukum lemah terhadap fenomena tersebut ialah Normalisasi kekerasan informal dimana banyak masyarakat yang menganggap pemalakan sebagai “biaya operasional biasa”, padahal hal tersebut perlu mendapat Tindakan tegas agar tidak terulang kepada orang lain sehingga tidak menjadi tradisi yang biasa.


Beberapa solusi hukum yang perlu dilakukan agar implementatif yakni diantaranya: Penguatan penegakan hukum terpadu dengan cara Polisi harus aktif melakukan patroli dan operasi di titik rawan. 


Kemudian juga penegakkan Peraturan Daerah dalam rangka penguatan zona anti-pemalakan. Pemalakan liar adalah simbol kecil dari kerusakan besar dalam sistem hukum kita. 


Negara tak boleh kalah dengan premanisme yang membajak jalanan. Hukum harus kembali berwibawa, dan keadilan tidak boleh hanya milik mereka yang kuat.



Profil :

Penulis adalah dosen hukum administrasi negara di Universitas Slamet Riyadi Surakarta dan aktif dalam isu-isu public, advokasi social budaya dan ketertiban umum

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top