![]() |
Pesta Budaya Tabuik Pariaman. Foto dok.Indonesia Kaya |
Oleh : Darwisman
PERINGATAN TABUIK merupakan salah satu tradisi budaya dan keagamaan yang berkembang kuat di Pariaman, Sumatera Barat. Upacara ini tidak hanya menjadi tontonan budaya, tetapi juga menyimpan makna spiritual yang dalam, terutama terkait dengan sejarah Islam. Akar dari peringatan ini bermula dari tragedi berdarah di Padang Karbala, yang melibatkan cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husein.
Hasan dan Husein adalah putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW. Keduanya merupakan sosok penting dalam sejarah Islam dan sangat dihormati oleh umat Islam, terutama oleh kelompok Syiah. Husein bin Ali, cucu Nabi yang kedua, gugur dalam pertempuran Karbala pada 10 Muharram 61 H (680 M), melawan pasukan Yazid bin Muawiyah.
Pertempuran Karbala menjadi simbol perjuangan melawan kezaliman dan ketidakadilan. Husein bersama keluarga dan pengikutnya yang setia menolak tunduk kepada kekuasaan Yazid yang dianggap tidak sah. Meski akhirnya syahid dengan cara yang tragis, peristiwa ini terus dikenang oleh umat Islam, terutama oleh komunitas Syiah, dengan berbagai bentuk peringatan.
Salah satu bentuk peringatan atas gugurnya Husein bin Ali adalah ritual Asyura, yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Muharram. Dalam tradisi Minangkabau, khususnya di Pariaman, peringatan ini diwujudkan dalam bentuk budaya lokal yang disebut dengan "Tabuik". Tradisi ini dibawa oleh para pendatang dari India keturunan Syiah yang menetap di wilayah pesisir barat Sumatera pada abad ke-19.
Tabuik berasal dari kata “tabut” yang berarti peti atau tandu. Dalam konteks peringatan, Tabuik merujuk pada simbolisasi kendaraan buraq yang dipercaya membawa jasad Husein ke langit. Bangunan Tabuik dibuat megah dan tinggi, dihiasi ornamen dan simbol-simbol keislaman serta elemen lokal Minang. Proses pembuatannya melibatkan banyak orang dan memakan waktu berminggu-minggu.
Prosesi Tabuik berlangsung selama 10 hari, dimulai dari tanggal 1 Muharram hingga puncaknya pada 10 Muharram. Selama prosesi, dilakukan berbagai ritual seperti maambiak tanah, manabang batang pisang, manjapuik buraq, dan arak-arakan besar yang mengiringi Tabuik ke laut. Keseluruhan prosesi ini menggambarkan perjalanan spiritual mengenang pengorbanan Husein.
Makna utama dari peringatan Tabuik bukanlah sekadar pesta rakyat, tetapi juga pengingat akan nilai perjuangan, keikhlasan, dan keteguhan hati dalam menghadapi ketidakadilan. Meski dibalut dalam budaya lokal yang meriah, inti dari peringatan ini tetap berkisar pada duka mendalam atas wafatnya cucu Nabi yang dicintai.
Dalam pelaksanaannya, Tabuik menjadi ajang pemersatu masyarakat Pariaman. Tidak hanya masyarakat Muslim, banyak juga wisatawan dari luar negeri dan luar daerah yang ikut menyaksikan perayaan ini. Hal ini menjadikan Tabuik sebagai salah satu atraksi budaya-religius paling besar di Sumatera Barat.
Namun demikian, tidak sedikit pula yang mempertanyakan aspek keagamaan dari Tabuik. Sebagian kelompok menilai bahwa unsur syiah dalam tradisi ini tidak sesuai dengan ajaran Islam mayoritas di Indonesia, yang berhaluan Sunni. Meskipun demikian, masyarakat Pariaman telah berhasil mengharmoniskan peringatan ini sebagai bentuk penghormatan budaya sekaligus keagamaan.
Tabuik juga menjadi simbol akulturasi antara ajaran Islam dengan budaya lokal. Kehadirannya menunjukkan betapa Islam bisa beradaptasi dengan nilai-nilai dan tradisi masyarakat setempat tanpa kehilangan substansi spiritualnya. Inilah yang membuat Tabuik terus bertahan selama lebih dari satu abad.
Sebagai warisan budaya tak benda, Tabuik telah diakui sebagai bagian dari kekayaan tradisi bangsa Indonesia. Pemerintah daerah dan pusat juga mendukung pelestarian tradisi ini karena dinilai mampu mempromosikan nilai-nilai sejarah Islam sekaligus menarik wisatawan.
Dalam konteks global, peringatan seperti Tabuik menjadi jembatan antara sejarah Islam dan masyarakat modern. Generasi muda diajak mengenal kembali sejarah perjuangan Husein bin Ali dengan cara yang menarik, tanpa melupakan nilai-nilai spiritual dan keagamaan di dalamnya.
Maka, peringatan Tabuik bukan hanya tentang mengenang wafatnya Husein bin Ali, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat lokal memaknai peristiwa tersebut dalam konteks budaya, sejarah, dan kehidupan bermasyarakat. Ini adalah bukti bahwa warisan spiritual bisa hidup dan berkembang dalam bingkai budaya.
Dengan demikian, Tabuik bukan sekadar perayaan, tetapi juga refleksi mendalam atas perjuangan, kesetiaan, dan pengorbanan. Di balik arak-arakan dan dentuman gandang tasa, tersimpan kisah pilu cucu Nabi yang gugur demi tegaknya kebenaran. Kisah yang terus hidup, dikenang, dan diwariskan dari generasi ke generasi melalui budaya Tabuik di Pariaman. (disarikan dari berbagai sumber)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih