![]() |
Seragam sekolah. Foto.Radar Kapahiang |
Tahun ajaran baru seringkali menjadi momen yang penuh semangat bagi siswa dan orang tua. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi sorotan publik setiap kali tahun ajaran dimulai: seragam sekolah.
Seragam sekolah sebenarnya punya tujuan baik: untuk menyatukan identitas, mengurangi kesenjangan sosial, dan menumbuhkan rasa kebersamaan. Sayangnya, niat baik ini kadang disalahgunakan oleh oknum tertentu di lingkungan sekolah.
Sudah menjadi rahasia umum, beberapa sekolah ‘bermain-main’ saat proses pengadaan seragam. Ada fee yang diharapkan pihak sekolah, mulai dari kepala sekolah hingga panitia, dengan alasan untuk mendukung kegiatan sekolah atau sebagai “uang lelah.”
Praktik seperti ini tentu membebani orang tua siswa. Harga seragam yang seharusnya terjangkau, jadi melambung tinggi. Bahkan tak jarang, kualitasnya pun tidak sebanding dengan harga yang harus dibayar.
Di era digital ini, keluhan para orang tua dengan cepat viral di media sosial. Foto kwitansi seragam mahal, lengkap dengan cap sekolah, tersebar luas dan memancing reaksi warganet. Akibatnya, citra sekolah ikut tercoreng.
Padahal, ada solusi sederhana yang seharusnya sudah bisa diterapkan sejak lama. Caranya, biarkan saja orang tua siswa membeli seragam sendiri di luar. Sekolah hanya perlu menetapkan model dan warna standar.
Sekolah cukup menyediakan atribut inti seperti lambang sekolah atau badge yang dijahit di dada kiri seragam. Lambang ini bisa dijual di koperasi sekolah dengan harga wajar dan terbuka.
Untuk seragam olahraga pun sebenarnya tidak harus repot. Cukup gunakan kaos putih lengan panjang polos. Kemudian, sekolah menyediakan sablon nama sekolah yang dananya diambil dari Dana BOS.
Langkah sederhana ini akan mengurangi kecurigaan publik terhadap sekolah, sekaligus meringankan beban orang tua. Harga seragam di pasaran jauh lebih kompetitif, dan orang tua punya lebih banyak pilihan sesuai kemampuan.
Selain itu, mekanisme ini juga membuat proses lebih transparan. Tidak ada lagi tender atau pengadaan seragam dalam jumlah besar yang rawan penyalahgunaan wewenang.
Sekolah cukup fokus pada fungsi pendidikan. Urusan jual beli seragam tidak perlu menjadi beban atau ladang pemasukan. Karena sejatinya, sekolah adalah lembaga pelayanan publik, bukan lembaga bisnis.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya sudah beberapa kali mengingatkan agar sekolah tidak mewajibkan orang tua membeli seragam di tempat yang ditunjuk sekolah. Sayangnya, di lapangan masih banyak yang melanggar.
Pengawasan perlu lebih kuat. Komite sekolah dan pihak terkait perlu proaktif. Jangan sampai urusan seragam menggerus kepercayaan masyarakat kepada sekolah.
Lebih baik lagi, jika pemerintah daerah menerbitkan aturan turunan yang melarang pengadaan seragam kolektif. Supaya semua sekolah punya pedoman yang sama dan tegas.
Pada akhirnya, tujuan utama seragam sekolah bukan soal untung rugi. Tapi soal kenyamanan, kesetaraan, dan kebanggaan siswa saat mengenakannya.
Semoga ke depan, sekolah benar-benar fokus mendidik anak bangsa, tanpa dibayang-bayangi persoalan bisnis seragam. Karena mendidik dengan hati jauh lebih mulia daripada sekadar mengurus sablon dan kain. (redaksi)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih