Attachment Style Jadi Tren di TikTok : Edukasi atau Self-Diagnose Massal ?

0
Gambar ilustrasi


TOPIK gaya keterikatan (attachment style) kini menjadi salah satu konten psikologi paling populer di kalangan Gen Z. Istilah-istilah seperti “anxious-preoccupied”, “dismissive-avoidant”, dan “secure” tersebar luas di media sosial sebagai cara untuk memahami dinamika hubungan. 


Tren ini menunjukkan tingginya minat terhadap kesehatan emosional, tetapi juga memunculkan pertanyaan penting: seberapa dalam pemahaman kita tentang konsep ini?


Di satu sisi, tren ini tentu punya dampak positif. Istilah yang dulunya hanya muncul di buku psikologi kini menjadi pengetahuan umum. 


Banyak Gen Z jadi lebih reflektif, mencoba memahami mengapa mereka terlalu lengket dengan pasangan, atau kenapa justru cenderung menjauh saat hubungan mulai serius. 


Konten edukatif soal attachment style membuat banyak orang sadar bahwa hubungan tak hanya soal “cinta”, tetapi juga soal pola yang terbentuk sejak lama.


Namun, di sisi lain, tren ini juga memunculkan fenomena self-diagnose massal yang kadang gegabah. Tak sedikit yang langsung menyimpulkan, “Oh, aku avoidant makanya suka ghosting,” atau “Aku anxious, jadi wajar kalau marah-marah dan curigaan saat pasangan telat membalas chat.” Alih-alih sebagai alat refleksi, gaya attachment malah dijadikan alasan untuk membenarkan perilaku toxic.


Padahal, attachment style bukanlah vonis akhir, apalagi identitas yang tak bisa diubah. Ia hanyalah pola yang terbentuk dari pengalaman masa kecil, terutama pola pengasuhan, dan bisa berubah seiring waktu—melalui pengalaman baru, relasi yang lebih sehat, serta proses penyembuhan. Memberi label tanpa pemahaman mendalam justru berisiko membatasi potensi pertumbuhan diri.


Masalah lainnya terletak pada sumber informasi. Tak semua konten tentang attachment style di TikTok atau media sosial dibuat oleh profesional atau psikolog. 


Banyak yang hanya berdasarkan pengalaman pribadi, opini, atau bahkan konten viral yang disederhanakan. Akibatnya, pemahaman soal attachment style pun menjadi kabur dan dangkal.


Ironisnya, meski semakin banyak orang tahu istilah-istilah psikologi, tak banyak yang benar-benar menjalani proses healing secara utuh. 


Ada yang sadar punya pola anxious, tapi tetap bertahan dalam hubungan penuh drama tanpa upaya untuk berubah. 


Ada pula yang paham mereka avoidant, tapi tetap menolak kedekatan tanpa pernah berusaha membuka kembali luka lama.


Maka, pertanyaannya: apakah viralnya attachment style benar-benar membawa Gen Z lebih dekat dengan pemahaman diri? Atau malah membuat mereka terjebak dalam label yang mereka ciptakan sendiri?


Tren ini patut diapresiasi sebagai langkah awal menuju kesadaran emosional. Namun, kita tidak boleh berhenti hanya pada menamai luka. 


Karena memahami attachment style sejatinya bukan tentang memberi nama, tetapi tentang menyembuhkan—dan itu jelas membutuhkan lebih dari sekadar scroll video satu menit. 


Penulis : Anita Rafia Desra, Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Univeritas Andalas

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top