![]() |
Inilah Gerbang tol Padang-Sicincin. Sumber Foto : Metrotvnews.Com |
JALAN Tol Padang-Sicincin yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional akhirnya resmi beroperasi penuh dengan penerapan tarif sejak Agustus 2025. Namun, pasca berbayar, kondisi lalu lintas di ruas tol tersebut justru sepi dari kendaraan.
Sebelum diberlakukan tarif, jalan tol sepanjang 36,6 kilometer itu sempat dibuka secara gratis untuk masyarakat. Saat masih gratis, hampir setiap hari jalan tol dipadati kendaraan, terutama dari Kota Padang menuju Sicincin maupun sebaliknya.
Masyarakat menganggap tol tersebut menjadi jalur alternatif cepat, mengurangi kepadatan di jalur nasional Padang–Bukittinggi yang kerap macet pada jam sibuk. Namun, kondisi berubah drastis sejak tarif diberlakukan awal Agustus lalu.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 672/KPTS/M/2025, kendaraan golongan I seperti mobil pribadi dikenakan tarif Rp50.500, golongan II dan III Rp75.500, serta golongan IV dan V sebesar Rp100.500. Tarif tersebut berlaku untuk sekali perjalanan dari arah Padang menuju Kapalo Hilalang maupun sebaliknya.
Besaran tarif inilah yang menjadi perbincangan hangat masyarakat. Tidak sedikit pengendara mengaku keberatan dan akhirnya kembali memilih jalur lama yang tidak berbayar meski lebih padat.
“Kalau gratis memang ramai, tapi setelah bayar jadi mikir dua kali. Jalur lama tetap bisa dipakai meskipun macet,” ujar Rinaldi, salah seorang pengendara asal Padang Panjang.
Selain soal tarif, faktor jarak yang relatif pendek juga menjadi pertimbangan pengguna kendaraan. Menurut sejumlah warga, biaya tol dianggap tidak sebanding dengan efisiensi waktu tempuh yang dihasilkan.
“Kalau dari Padang ke Sicincin saja harus bayar Rp50 ribu lebih, sementara jaraknya tidak terlalu jauh. Itu yang membuat banyak orang akhirnya pilih jalan nasional saja,” kata Erni, pengguna kendaraan pribadi.
Padahal, kehadiran tol ini diharapkan bisa memangkas waktu perjalanan dari Padang ke Bukittinggi hingga 30–40 menit. Namun, bagi sebagian besar masyarakat, efisiensi waktu itu belum cukup untuk mengimbangi besarnya biaya.
Fenomena sepinya tol berbayar bukan hal baru di Indonesia. Beberapa ruas tol di daerah lain sebelumnya juga mengalami nasib serupa saat pertama kali menerapkan tarif. Namun, setelah berjalan beberapa waktu, perlahan jumlah kendaraan kembali meningkat.
Pengamat transportasi Sumbar, Irfan Maulana, menilai kondisi ini wajar terjadi. Menurutnya, masyarakat membutuhkan waktu beradaptasi terhadap keberadaan tol dan tarif yang berlaku.
“Biasanya butuh masa transisi. Awal-awal sepi, tapi lama-lama orang akan melihat manfaatnya dibanding jalur biasa yang macet. Tinggal bagaimana pemerintah dan pengelola tol melakukan sosialisasi,” ujarnya.
Meski begitu, Irfan juga menekankan bahwa struktur tarif perlu dievaluasi agar lebih sesuai dengan kemampuan daya beli masyarakat. Ia menilai, penyesuaian harga bisa mendorong lebih banyak orang memanfaatkan tol.
Sementara itu, pihak pengelola tol menegaskan bahwa tarif yang diberlakukan sudah melalui kajian pemerintah pusat. Mereka memastikan pelayanan dan kenyamanan di jalur tol tetap menjadi prioritas.
Bagi sebagian pengendara logistik, keberadaan tol tetap bermanfaat meski berbayar. Mereka menganggap waktu yang lebih cepat justru bisa menekan biaya distribusi jangka panjang. Namun, bagi pengguna harian seperti komuter, tarif tol dianggap terlalu mahal.
Kini, sepinya ruas Tol Padang-Sicincin menjadi perhatian publik. Pemerintah daerah bersama pengelola tol diharapkan dapat mencari solusi terbaik agar investasi besar pembangunan infrastruktur tersebut benar-benar memberi manfaat luas bagi masyarakat. (**/Redaksi/Disarikan Dari Berbagai Sumber/**)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih