Penonton, Irama, dan Makna: Dinamika Sosial dalam Pertunjukan Rabab Pasisia

0


Oleh : Annisa Putri, Mahasiswi Universitas Andalas


Rabab Pasisia. Foto. Antara Sumbar

Rabab Pasisia bukan sekadar pertunjukan musik ; ia adalah ruang sosial tempat emosi, cerita, dan kebersamaan berpadu menjadi satu pengalaman kolektif. 


-----------------------


Dalam kebudayaan Minangkabau, seni bukan sesuatu yang berdiri terpisah dari kehidupan sehari-hari. Ia merupakan bagian dari denyut nadi masyarakat, tempat manusia berbicara kepada sesamanya, bukan dengan kata, tetapi dengan nada, kisah, dan perasaan.


Sebagaimana dijelaskan oleh Lono L. Simatupang, ahli seni pertunjukan Indonesia, hubungan antara pelaku dan penonton dalam seni tradisional tidak bersifat satu arah. 


Penonton tidak hanya menyaksikan, tetapi turut “hidup” di dalam pertunjukan itu sendiri. Dalam Rabab Pasisia, prinsip ini terasa nyata. 


Ketika pendendang mulai menuturkan kisahnya—tentang cinta yang hilang, perjuangan hidup, atau kesetiaan seorang ibu—penonton merespons bukan hanya dengan tepuk tangan, tetapi juga dengan seruan spontan, tawa, bahkan tangisan.


Di sinilah keunikan Rabab Pasisia. Ia menciptakan ruang partisipatif, di mana batas antara pemain dan penonton menjadi cair. Pertunjukan tidak terjadi di atas panggung tinggi yang memisahkan seniman dari khalayak, melainkan di ruang yang akrab—surau, balai nagari, atau halaman rumah. 


Kedekatan fisik itu membuat suasana pertunjukan menjadi hangat dan intim. Kadang, penonton ikut memberi komentar terhadap cerita yang dibawakan, menimpali dengan pantun atau nasihat, seolah mereka ikut berada dalam kisah yang sedang dituturkan.


Hubungan emosional ini tidak lahir begitu saja. Ia tumbuh dari keterhubungan antara tema Rabab Pasisia dan kehidupan nyata masyarakat pesisir. 


Cerita-cerita yang dibawakan pendendang tidak jauh dari kehidupan mereka sendiri : tentang nelayan yang kehilangan perahu, ibu yang menunggu anaknya di rantau, atau gadis yang ditinggal kekasihnya. Setiap nada rabab dan syair Sikambang menjadi cermin dari pengalaman kolektif masyarakat. Itulah sebabnya, meski kisahnya bersifat personal, penonton merasa ikut terlibat secara emosional.


Dalam kajian pertunjukan tradisional, penonton dapat dibagi menjadi dua jenis 1j. Penonton aktif, yaitu mereka yang memberikan respons langsung, entah dalam bentuk seruan, tepuk tangan, atau komentar 2). Penonton pasif, yaitu mereka yang hanya menyimak dengan tenang, larut dalam suasana tanpa banyak bereaksi.


Namun, dalam konteks Rabab Pasisia, kedua kategori itu tidak bersifat kaku. Kadang seorang penonton pasif tiba-tiba berubah menjadi aktif saat cerita menyentuh pengalaman pribadinya. Inilah bukti bahwa Rabab Pasisia bukan hanya hiburan, melainkan dialog batin antara seniman dan masyarakatnya.


Bagi masyarakat pesisir selatan, pertunjukan Rabab Pasisia juga berfungsi sebagai ruang katarsis sosial, tempat mereka menyalurkan emosi dan merenungi hidup. 


Di wilayah yang sering dilanda kerasnya ombak, kemiskinan, dan keterbatasan ekonomi, seni menjadi pelarian yang indah. Nada rabab yang serak dan lirih menggambarkan duka, tetapi juga harapan. 


Melalui seni, mereka belajar bahwa kesedihan bisa dinyanyikan, penderitaan bisa dibagikan, dan hidup—betapa pun beratnya—tetap bisa dirayakan.


Menariknya, suasana pertunjukan Rabab Pasisia kerap berubah-ubah mengikuti respons penonton. Ketika suasana menjadi terlalu sendu, pendendang akan menyelipkan humor atau pantun ringan agar penonton kembali tersenyum. 


Bentuk komunikasi dua arah ini memperlihatkan kecerdasan emosional khas seniman tradisional, yang memahami bahwa seni bukan tentang kesempurnaan teknik, melainkan tentang membangun keintiman rasa.


Irama dalam Rabab Pasisia juga memainkan peran penting dalam membangun interaksi ini. Ketika rabab digesek pelan, penonton tahu bahwa kisah sedang memasuki bagian duka. 


Ketika tempo meningkat, mereka bersiap untuk bagian klimaks, penuh ketegangan atau amarah. Musik dan emosi berjalin menjadi satu bahasa universal yang bisa dimengerti tanpa kata. Sebagaimana diungkapkan oleh William P. Malm (1976), dalam musik vokal Asia, hubungan antara musik dan teks tidak selalu satu banding satu; beberapa nada bisa mewakili satu emosi yang kompleks. 


Itulah yang terjadi dalam Rabab Pasisia—nada-nada panjang menggantung, seolah menahan air mata yang tak sempat jatuh.


Dalam era modern, dinamika sosial antara penonton dan pertunjukan mengalami pergeseran. Jika dahulu penonton datang langsung ke lokasi, kini pertunjukan Rabab Pasisia banyak direkam dan disebarkan melalui media digital seperti YouTube dan Facebook. 


Fenomena ini menghadirkan jenis “penonton baru”, yaitu penonton virtual yang tidak hadir secara fisik, tetapi tetap berinteraksi melalui komentar dan reaksi daring. 


Walau demikian, esensi interaksi sosialnya tetap ada. Mereka masih menanggapi cerita, mengungkapkan rasa haru, dan menghidupkan kembali tradisi dalam ruang digital.


Namun, ada sisi lain dari perubahan ini: keakraban yang dulu hadir secara langsung mulai bergeser menjadi jarak. Pertunjukan yang dahulu berfungsi sebagai ajang silaturahmi dan kebersamaan kini terancam menjadi tontonan individual di layar ponsel. 


Karena itu, banyak seniman Rabab Pasisia berupaya menjaga keseimbangan—tetap tampil secara langsung di nagari-nagari sambil memanfaatkan teknologi untuk memperluas jangkauan penonton.


Pada akhirnya, Rabab Pasisia adalah cermin masyarakatnya. Ia memperlihatkan bahwa dalam kehidupan orang Minangkabau, seni bukan pelarian dari kenyataan, tetapi cara untuk memahami kenyataan itu sendiri. 


Setiap penonton yang larut dalam kisah tidak sekadar menikmati hiburan, tetapi sedang melakukan refleksi tentang nasib, cinta, dan makna hidup.


Di tengah dunia yang semakin cepat dan individualistis, Rabab Pasisia mengingatkan bahwa manusia butuh ruang untuk merasa bersama. Pertunjukan ini bukan hanya warisan budaya, tetapi juga terapi sosial, tempat orang menangis, tertawa, dan menemukan dirinya kembali melalui nada dan cerita.


Selama masih ada yang mendengarkan, selama rabab masih digesek dengan hati, Rabab Pasisia akan tetap hidup sebagai suara yang menyatukan masa lalu dan masa kini, pemain dan penonton, duka dan kebahagiaan. 


Ia menjadi bukti bahwa budaya tidak pernah benar-benar hilang; ia hanya menunggu untuk didengar kembali dengan hati yang terbuka. (***/)

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top