Goba-Goba : Letupan Sukacita di Langit Subuh Bidar Alam

0


Oleh : Muhammad Fawzan


Foto ilustrasi


Setiap kali hari raya Idul fitri tiba, langit Bidar Alam di Solok Selatan berubah menjadi panggung cahaya dan suara. Dari kejauhan, dentuman petasan bersahutan dari bukit ke bukit, berpadu dengan kilau lampu yang menghiasi pagar bambu raksasa. 

---------


Inilah Goba-Goba, tradisi yang sudah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Nagari Bidar Alam, sebuah pesta kebahagiaan yang menandai datangnya hari kemenangan.


Menjelang Subuh di hari lebaran, suara goba-goba terdengar menggelegar seperti drum kemenangan. Dari satu bukit, petasan diluncurkan tinggi, disambut dentuman lain dari arah berbeda. 


Cahaya kembang api menari di langit, sementara dari kejauhan, tampak pagar bambu yang menjulang dihiasi lampu berwarna-warni, membentuk berbagai rupa, burung elang, pesawat, hingga angka tahun hijriah yang menandai perayaan tahun itu. Bagi masyarakat Bidar Alam, malam itu bukan sekadar hiburan, tapi perayaan rasa syukur.


“Kalau tak ado goba-goba, sepi rasanyo lebaran,” ujar Pak Amri, tokoh masyarakat setempat. “Ini bukan cuma petasan, tapi tanda bahwa kita masih satu nagari, masih kompak.”


Gotong Royong dan Kreativitas yang Tak Pernah Padam


Persiapan Goba-Goba dimulai jauh sebelum malam takbiran. Lima hari menjelang lebaran, para pemuda nagari sudah turun ke hutan untuk mencari bahan-bahan utama Seperti bambu dan pohon kelapa.


Bambu dipotong panjang, dibelah, lalu dirakit menjadi pagar tinggi mencapai 10 hingga 20 meter. Setiap kelompok pemuda membuat desain sendiri, ada yang berbentuk menara, burung, bahkan kapal.


Di malam hari, pagar itu dihiasi lampu minyak atau bohlam kecil agar tampak berkilau dari kejauhan.


Sementara itu, batang kelapa diolah menjadi badia-badia, tabung sederhana tempat karbit dibakar untuk menciptakan ledakan keras. 


Semua dilakukan dengan semangat gotong royong, tidak ada panitia resmi, tidak ada bayaran. Setiap pemuda tahu tugasnya, setiap keluarga ikut menyumbang makanan dan minuman untuk para pekerja.


Ledakan yang Menyatukan


Tepat setelah malam takbiran, sekitar pukul tiga dini hari, masyarakat berbondong naik ke bukit membawa obor. Di sanalah bunyi goba-goba mulai menggema. Ledakan pertama menjadi isyarat dimulainya pesta suara. Dari satu bukit ke bukit lain, bunyi ledakan bersahutan, menciptakan simfoni yang hanya bisa dinikmati sekali dalam setahun.


Meskipun telinga terasa berdenging, tak ada yang mengeluh. Bagi masyarakat Bidar Alam, dentuman itu adalah tanda kebersamaan, tanda kehidupan yang terus bergulir dari generasi ke generasi.


“Anak kamanakan yang pulang dari rantau pasti menunggu malam ini,” kata seorang ibu di tepi jalan sambil tersenyum. “Malam Goba-Goba adalah malam rindu yang terbayar.”


Warisan yang Tak Sekadar Bunyi


Lebih dari sekadar pesta petasan, Goba-Goba adalah ekspresi rasa syukur dan simbol gotong royong. Ia menyatukan masyarakat tanpa memandang usia dan status sosial. 


Dalam prosesnya, semua bekerja bersama, dari anak kecil yang memegang obor hingga orang tua yang menyiapkan nasi gulai untuk para pemuda di bukit. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukan soal kemewahan, tapi tentang kebersamaan.


Dan selama dentuman Goba-Goba masih terdengar di langit Bidar Alam, semangat itu akan terus hidup, semangat untuk bersyukur, bergembira, dan saling menjaga dalam satu nagari. (***/)


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top