Oleh : Windri Liraturahma, Mahasiswa jurusan Sastra Minangkabau Universitas Andalas
![]() |
Penulis Windri Liraturahma |
Sumatera Barat tak hanya dikenal lewat rendang dan itiak lado hijaunya. Di balik kekayaan kulinernya, setiap nagari di Ranah Minang memiliki makanan khas yang tak sekadar lezat, tapi juga menyimpan nilai sosial dan budaya. Salah satunya adalah Godok Obuih, kuliner tradisional yang telah menjadi identitas masyarakat Lubuk Tarok, Kabupaten Sijunjung.
------------------
Bagi masyarakat setempat, Godok Obuih bukan hanya sekadar makanan, melainkan simbol kebersamaan dan gotong royong yang diwariskan turun-temurun sejak masa Kerajaan Jambu Lipo. Proses pembuatannya melibatkan banyak orang dan selalu menjadi momen yang ditunggu menjelang pesta pernikahan atau baralek.
Bahan dasar Godok Obuih terdiri dari tepung beras putih (cowai), tepung ketan, dan pisang batu matang. Semua bahan diaduk bersama hingga kalis, lalu dibulatkan oleh para ibu yang datang membantu persiapan baralek. Setelah itu, adonan dimasak dalam kuali besar berisi santan mendidih dan daun pandan untuk memberi aroma khas yang harum.
Tradisi memasak Godok Obuih biasanya dilakukan pada Kamis malam, menjelang hari pernikahan yang digelar pada Jumat setelah salat Jumat. Suasana dapur malam itu selalu ramai dan penuh canda tawa.
Kemudian diiringi alunan musik orgen tunggal yang menambah semangat para ibu mengaduk adonan. Jumlah yang dimasak tergantung besar kecilnya acara. Untuk baralek kecil cukup 15–20 gantang, sedangkan untuk baralek gadang bisa mencapai 35 gantang.
Nilai kebersamaan sangat terasa dalam tradisi ini. Para ibu yang datang membantu tidak datang dengan tangan kosong — mereka membawa beras atau gula sebagai bentuk solidaritas dan sumbangsih. Setelah matang, sebagian Godok Obuih dibagikan kepada para ibu untuk dibawa pulang sebagai tanda kebersamaan dan syukur.
Keesokan paginya, Jumat pagi, para ninik mamak (pemuka adat), sumando, dan kaum laki-laki berkumpul di Rumah Gadang untuk makan Godok Obuih bersama. Dalam adat Lubuk Tarok, kegiatan ini memiliki makna sosial yang kuat.
Jika makan dilakukan di Rumah Gadang pihak perempuan, para tamu meletakkan sejumlah uang di bawah piring sebagai tanda partisipasi, yang disebut “membeli Godok Obuih.” Sebaliknya, jika acara berlangsung di pihak laki-laki, tidak ada kewajiban memberi uang.
Tradisi ini bukan semata soal makan, tetapi juga simbol persaudaraan dan penghormatan antar keluarga. Godok Obuih menjadi medium yang menyatukan warga dalam suasana kekeluargaan, sekaligus memperkuat nilai-nilai gotong royong yang telah lama hidup di tengah masyarakat Lubuk Tarok.
Dari kacamata antropolinguistik, tradisi Godok Obuih juga mencerminkan kekayaan bahasa dan sistem sosial Minangkabau. Kata-kata seperti dipanggia (diundang), baralek, ninik mamak, dan sumando menunjukkan konsep kekerabatan berbasis matrilineal. Bahasa yang digunakan penuh sopan santun dan penghormatan, menjadi sarana pewarisan nilai budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebutan “Ranah Minang Godok Obuih” yang melekat pada nagari Lubuk Tarok menegaskan peran bahasa sebagai penanda identitas kolektif. Istilah ini bukan sekadar sebutan, melainkan kebanggaan dan pengakuan bahwa Godok Obuih adalah bagian dari jati diri masyarakatnya.
Di balik kesederhanaannya, Godok Obuih menyimpan filosofi yang dalam. Proses mengaduk adonan bersama menggambarkan kerja sama dan kesatuan hati. Pisang batu melambangkan keteguhan dalam berumah tangga.
Sementara santan dan daun pandan menyimbolkan kelembutan dan keharmonisan. Pesannya jelas — kehidupan harus diolah dengan sabar, diaduk dengan cinta, dan dibumbui dengan kebersamaan agar menghasilkan rasa yang manis dan seimbang, seperti Godok Obuih itu sendiri.
Hingga kini, masyarakat Lubuk Tarok — baik di kampung maupun di rantau — tetap setia melestarikan tradisi ini setiap kali menggelar baralek. Keunikan inilah yang membuat daerah ini dikenal sebagai “Ranah Minang Godok Obuih”, karena makanan ini tak ditemukan di daerah lain.
Lebih dari sekadar kuliner, Godok Obuih adalah warisan nilai, bahasa, dan kebersamaan. Ia bukan hanya dimasak dan dimakan, tetapi juga “dihidupi” sebagai simbol jati diri orang Lubuk Tarok — sebuah tradisi yang terus bertutur dan diwariskan lintas generasi. (***)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih