Oleh : Farco Siswiyanto Raharjo, S.Sos., M.Si, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Slamet Riyadi Surakarta
![]() |
| Penulis |
Pelantikan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka, 7 November 2025, membuka babak baru dalam reformasi institusi penegak hukum di Indonesia.
---------
Komisi ini dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, bersama sejumlah tokoh hukum nasional seperti Mahfud MD, Yusril Ihza Mahendra, serta beberapa mantan Kapolri. Mereka diberi mandat untuk mengevaluasi sistem, struktur, dan budaya kerja Polri.
Presiden Prabowo menegaskan bahwa reformasi kepolisian diperlukan untuk menegakkan supremasi hukum dan keadilan sosial. Langkah ini mendapat sambutan positif dari publik dan dianggap sebagai sinyal politik bahwa pemerintah ingin memperbaiki citra Polri di tengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Namun, di balik optimisme itu muncul pertanyaan mendasar: apakah ini benar-benar langkah perubahan, atau sekadar ritual politik untuk meredam kekecewaan publik?
Tantangan Reformasi
Reformasi Polri bukan isu baru. Sejak institusi ini resmi berpisah dari TNI pada tahun 2000, masyarakat berharap lahirnya kepolisian yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Namun dua dekade berlalu, berbagai kasus pelanggaran etik, kekerasan aparat, hingga penyalahgunaan wewenang masih sering terjadi.
Beragam survei juga menunjukkan fluktuasi tingkat kepercayaan publik terhadap Polri, yang kerap menurun setelah muncul kasus besar yang mencoreng nama institusi.
Karena itu, pembentukan Komisi Reformasi Polri kali ini memang terasa penting. Tetapi masyarakat sudah belajar dari pengalaman: banyak komisi serupa sebelumnya berakhir tanpa hasil nyata.
Reformasi yang dibutuhkan Polri bukan sekadar pembentukan tim ad hoc, melainkan perombakan paradigma dan kultur kerja yang telah mengakar puluhan tahun.
Harapan dan Risiko Komisi Reformasi
Secara positif, langkah Presiden Prabowo ini menunjukkan adanya kesadaran politik akan pentingnya mengontrol kekuatan negara melalui mekanisme hukum. Kehadiran tokoh-tokoh hukum senior memberi legitimasi moral pada komisi tersebut.
Namun di sisi lain, publik juga meragukan independensi dan objektivitasnya, mengingat sebagian anggotanya berasal dari kalangan mantan pejabat dan figur yang pernah menjadi bagian dari sistem yang akan dievaluasi.
Pertanyaan krusialnya: apakah komisi ini berani mengulik akar masalah hingga ke level sistemik? Pengalaman sebelumnya menunjukkan banyak rekomendasi reformasi yang hanya berhenti di atas kertas tanpa implementasi nyata.
Artinya, persoalan utama bukan hanya apa yang direkomendasikan, tetapi seberapa serius pemerintah melaksanakannya. Tanpa keberanian politik dan dukungan institusional dari Polri sendiri, reformasi ini bisa kembali kandas di tengah jalan.
Akar Masalah : Kontrol yang Lemah dan Kekuasaan yang Luas
Polri adalah salah satu lembaga negara dengan wewenang paling besar—dari bidang keamanan, penyidikan, lalu lintas, hingga dunia digital.
Namun kekuasaan besar itu tidak diimbangi dengan sistem pengawasan yang efektif.
Pengawasan internal melalui Divisi Propam dan Itwasum sering kali tidak transparan, sementara pengawasan eksternal oleh DPR atau Kompolnas cenderung administratif dan minim efek koreksi.
Akibatnya, sistem akuntabilitas berjalan lemah.
Selain itu, budaya organisasi Polri juga menjadi persoalan mendasar. Pendekatan koersif masih kerap digunakan, menggantikan semangat pelayanan publik. Polisi masih sering dipersepsikan sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat.
Karena itu, Komisi Reformasi Polri harus fokus membangun sistem pengawasan yang kredibel dan mengubah mindset kekuasaan menjadi mindset pelayanan.
Menjaga Momentum Politik
Secara politik, keputusan Prabowo membentuk komisi ini menunjukkan keinginan untuk menghidupkan kembali institusi hukum dan memulihkan kepercayaan publik. Namun momentum ini bisa cepat hilang jika tidak segera diikuti kebijakan nyata.
Reformasi kepolisian adalah proyek jangka panjang yang menuntut konsistensi lintas pemerintahan. Presiden perlu memastikan bahwa hasil kerja komisi ini memiliki landasan hukum yang kuat serta dukungan anggaran dan birokrasi agar dapat dijalankan.
Jika langkah ini berhasil, maka akan menjadi warisan politik berharga bagi pemerintahan Prabowo. Sebaliknya, jika gagal, publik akan melihatnya sekadar sebagai manuver simbolik yang mengulang pola lama.
Pelantikan Komisi Percepatan Reformasi Polri memang menjadi titik awal penting dalam perjalanan hukum Indonesia. Namun keberhasilannya tidak diukur dari jumlah tokoh besar di dalamnya, melainkan dari niat politik dan keberanian moral untuk menempatkan keadilan di atas kepentingan institusi.
Kini, Presiden Prabowo berada di persimpangan sejarah: menjadi pemimpin yang memulai reformasi hukum sejati, atau sekadar mengulangi ilusi perubahan yang pernah gagal diwujudkan.
Publik tidak menunggu pidato, melainkan tindakan nyata yang mengubah wajah kepolisian menjadi lebih adil, jujur, dan berpihak pada rakyat.
Farco Siswiyanto Raharjo, S.Sos., M.Si
Dosen Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Slamet Riyadi Surakarta
📞 0812-9252-9232 | ✉️ farcoraharjo@gmail.com


Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih