Menelusuri Status Halal Mirin dalam Dunia Kuliner Jepang

0

Oleh : Novita Apriliyanti, Mahasiswa Biologi FMIPA Universitas Andalas




Kuliner Jepang kian digemari masyarakat Indonesia. Beragam hidangan seperti sushi, ramen, hingga aneka menu grill kini mudah ditemukan di berbagai kota. 


Namun, di balik cita rasa autentik yang ditawarkan, terdapat satu bahan yang kerap menjadi perbincangan di kalangan konsumen Muslim, yakni mirin.


Mirin merupakan bahan tradisional khas Jepang yang mengandung alkohol dan telah lama digunakan sebagai penyedap masakan. 


Bahan ini dibuat dari beras ketan kukus, koji (ragi), dan alkohol. Dalam praktiknya, mirin berfungsi untuk menambah rasa manis, aroma, serta kedalaman cita rasa pada masakan, sehingga banyak dimanfaatkan dalam industri makanan maupun restoran Jepang. 


Secara fisik, mirin berbentuk cair berwarna kuning dengan rasa manis khas.


Proses pembuatan mirin diawali dengan pengukusan beras ketan yang kemudian dicampur dengan ragi (koji). 


Setelah itu, ditambahkan alkohol atau cairan fermentasi sejenis arak untuk membantu proses peragian. 


Campuran ini didiamkan selama sekitar 60 hari hingga fermentasi selesai. Selanjutnya, bahan diperas dan disaring.


Dalam proses tersebut, enzim amilase yang dihasilkan ragi mengubah karbohidrat pada beras menjadi gula, sementara asam suksinat dan asam amino memberikan rasa “umami” atau rasa yang lebih mendalam. 


Meski kadar alkohol ditekan selama fermentasi, kandungan gula pada mirin tetap tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan sake. 


Mirin diketahui mengandung alkohol sekitar 10–14 persen dengan tingkat kemanisan mencapai 40–50 persen.


Kandungan alkohol inilah yang menjadi titik kritis kehalalan mirin dalam perspektif hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara tegas menyatakan bahwa mirin, baik digunakan dalam jumlah banyak maupun sedikit, termasuk dalam kategori khamr dan tidak dapat disertifikasi halal. 


Hal ini ditegaskan dalam Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2003 tentang Standarisasi Fatwa Halal, yang menyebutkan bahwa bahan masakan beralkohol tergolong non-halal.


Dengan demikian, penggunaan mirin dalam makanan tidak diperbolehkan bagi umat Islam, meskipun hanya digunakan sebagai bumbu atau penyedap rasa. 


Kandungan alkohol yang signifikan menjadi alasan utama pelarangan tersebut, mengingat segala bentuk zat yang bersifat memabukkan diharamkan dalam syariat Islam.


Sebagai alternatif, mirin sebaiknya digantikan dengan bahan lain yang halal, seperti campuran gula, kecap asin halal, atau produk pengganti mirin yang telah tersertifikasi halal. 


Kesadaran akan pentingnya menjaga kehalalan makanan membuat konsumen Muslim kini semakin berhati-hati dalam memilih bahan dan produk yang dikonsumsi, terutama saat menikmati kuliner dari budaya lain.


Fenomena ini mendorong umat Muslim untuk lebih selektif dalam memilih restoran Jepang serta lebih teliti dalam menelaah bahan dan proses pembuatan berbagai hidangan, seperti sushi, ramen, dan tempura. 


Tujuannya satu, memastikan setiap sajian yang dinikmati benar-benar sesuai dengan prinsip kehalalan. (***/)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top