![]() |
| Pelantikan Wali Nagari se Padang Pariaman pada tanggal 31 Mei 2018 silam. Foto.Dok.Redaksi |
Tahun 2026 akan menjadi titik penting bagi pemerintahan nagari di Kabupaten Padang Pariaman. Pada bulan Mei mendatang, sebanyak 55 Wali Nagari dari 103 nagari akan mengakhiri masa jabatannya.
Pilwana Serentak yang akan digelar bukan sekadar pergantian kepemimpinan, melainkan ujian kolektif bagi kualitas tata kelola nagari selama hampir satu dekade terakhir.
Pemilihan Wali Nagari seharusnya dimaknai sebagai ruang evaluasi publik. Masyarakat nagari tidak hanya memilih figur, tetapi menimbang rekam jejak, visi, serta keberpihakan pemimpinnya terhadap pelayanan dan pembangunan.
Di titik inilah Pilwana menjadi instrumen demokrasi paling dekat dengan kehidupan warga.
Realitas di lapangan menunjukkan adanya perbedaan mencolok dalam cara Wali Nagari memimpin. Ada nagari yang bergerak dinamis, berani berinovasi, dan menjadikan pelayanan publik sebagai prioritas.
Namun, ada pula nagari yang tampak berjalan di tempat, tanpa perubahan berarti dari waktu ke waktu.
Kondisi kantor nagari menjadi cermin paling nyata dari perbedaan tersebut. Sebagai pusat pelayanan dan simbol kehadiran negara di tingkat paling bawah, kantor nagari semestinya mencerminkan keseriusan dalam melayani masyarakat.
Ketika kantor ditata dengan baik, masyarakat merasakan kehadiran pemerintah yang bekerja. Sebaliknya, ketika kantor dibiarkan apa adanya, pesan yang muncul adalah abainya kepemimpinan.
Sejumlah Wali Nagari menunjukkan bahwa keterbatasan anggaran bukan alasan untuk berhenti berbuat.
Dengan kreativitas dan kemampuan membangun jejaring, mereka mampu menghadirkan kantor nagari yang lebih layak dan pelayanan yang lebih manusiawi, baik melalui dukungan perantau maupun optimalisasi jalur anggaran yang tersedia secara sah.
Fakta ini sekaligus menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada ketersediaan sumber daya, melainkan pada visi dan kemauan untuk bertindak.
Dengan kondisi fiskal yang relatif serupa, perbedaan capaian antar nagari menjadi indikator kualitas kepemimpinan itu sendiri.
Di sisi lain, masih ditemukan nagari yang hingga akhir masa jabatan Wali Nagarinya tidak menunjukkan perubahan berarti, bahkan pada aspek paling mendasar seperti fasilitas pelayanan.
Delapan tahun kepemimpinan berlalu tanpa jejak pembangunan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Situasi tersebut patut menjadi bahan refleksi bersama. Kepemimpinan nagari tidak cukup dijalankan secara administratif. Ia menuntut kepekaan, keberanian mengambil inisiatif, serta komitmen untuk menghadirkan perubahan, sekecil apa pun, yang berdampak pada kehidupan warga.
Pilwana Serentak 2026 karenanya harus dimaknai sebagai momentum koreksi arah. Masyarakat nagari diharapkan tidak lagi terjebak pada politik kedekatan semata, melainkan memilih berdasarkan kinerja dan gagasan yang ditawarkan.
Bagi para calon Wali Nagari, kontestasi ini semestinya menjadi ruang adu visi dan integritas. Janji pembangunan harus disertai pemahaman terhadap persoalan nagari dan kemampuan menerjemahkannya ke dalam kebijakan nyata.
Pada akhirnya, Pilwana Serentak 2026 adalah kesempatan untuk menegaskan kembali makna kepemimpinan di tingkat nagari.
Nagari yang kuat tidak lahir dari pemimpin yang nyaman dengan rutinitas, melainkan dari mereka yang berani bekerja, berinovasi, dan meninggalkan warisan pelayanan yang bermartabat. (redaksi)


Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih