Oleh: Zikra Naspahendra
![]() |
| Ilustrasi tata ruang. gambar by.viva.co.id |
Reformasi tata ruang merupakan upaya pembaruan menyeluruh terhadap sistem perencanaan, pengelolaan, dan perizinan pemanfaatan ruang di Indonesia.
Langkah ini bertujuan menciptakan keteraturan, efisiensi, kepastian hukum, serta keberlanjutan pembangunan.
Reformasi tersebut mencakup digitalisasi perizinan, integrasi lintas sektor, penyederhanaan regulasi—seperti penerapan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) di era Undang-Undang Cipta Kerja—hingga penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang lebih presisi.
Pada akhirnya, reformasi tata ruang diharapkan mampu mendukung iklim investasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam beberapa bulan terakhir, Indonesia kembali diguncang bencana banjir yang merusak infrastruktur, mengancam keselamatan jiwa, serta menimbulkan beban ekonomi yang tidak kecil.
Memasuki 2025, ancaman banjir nasional diproyeksikan kian meningkat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi terjadinya peningkatan curah hujan ekstrem sebagai dampak perubahan iklim global.
Di tengah situasi ini, reformasi tata ruang kota bukan lagi pilihan kebijakan, melainkan keharusan mutlak.
Data menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan. Berdasarkan laporan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun 2023, lebih dari 60 persen wilayah Indonesia berada dalam kategori rawan banjir, khususnya di kawasan perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung.
Sepanjang 2024, banjir di Jakarta saja menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp10 triliun, sebagaimana dicatat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Memasuki 2025, risiko ini diperkirakan meningkat seiring potensi kenaikan curah hujan sebesar 20–30 persen akibat fenomena El Niño yang semakin intensif.
Banjir tidak sekadar persoalan genangan air. Dampaknya menjalar ke berbagai sektor, mulai dari kesehatan masyarakat, kerusakan lingkungan, hingga perpindahan penduduk.
Pada banjir besar 2024, sekitar 40 persen wilayah Jakarta sempat tergenang, memaksa ribuan warga mengungsi. Jika situasi ini terus dibiarkan, banjir nasional 2025 berpotensi memicu krisis kemanusiaan berskala besar.
Bank Dunia (World Bank) dalam laporan tahun 2023 bahkan memperingatkan potensi kerugian ekonomi akibat risiko iklim di Asia Tenggara dapat mencapai Rp50 triliun.
Buruknya tata ruang kota menjadi salah satu akar persoalan utama. Pembangunan perkotaan kerap mengabaikan daya dukung lingkungan, termasuk sistem drainase alami dan kawasan resapan air.
Alih fungsi lahan di bantaran sungai, kawasan hijau, dan daerah tangkapan air terus berlangsung tanpa kendali. Akibatnya, air hujan tidak lagi terserap, melainkan langsung mengalir ke kawasan permukiman padat.
Reformasi tata ruang harus diarahkan pada penataan ulang penggunaan lahan secara berkelanjutan. Salah satu instrumen penting adalah peningkatan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 mewajibkan setiap kota memiliki minimal 20 persen RTH. Namun, hingga kini Jakarta baru mencapai sekitar 9,9 persen. Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2022 menunjukkan bahwa peningkatan RTH secara signifikan mampu mengurangi risiko banjir hingga 30 persen.
Selain itu, penerapan sistem drainase modern juga menjadi kebutuhan mendesak. Teknologi seperti sumur resapan, kolam retensi, dan kanal bawah tanah terbukti efektif.
Singapura, misalnya, berhasil menurunkan potensi banjir hingga 50 persen melalui sistem drainase terpadu yang terencana dengan baik.
Pendekatan lain yang tak kalah penting adalah penerapan zonasi berbasis risiko. Kota Rotterdam di Belanda telah membatasi pembangunan di wilayah rawan banjir dan mengembangkan konsep bangunan terapung (floating buildings) sebagai bentuk adaptasi terhadap ancaman air.
Tanpa reformasi tata ruang yang serius dan konsisten, kota-kota di Indonesia akan terus berada dalam siklus kerentanan. Laporan United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2023 mencatat bahwa negara-negara dengan tata ruang adaptif mampu menekan kerugian akibat banjir hingga 40 persen.
Di tengah ancaman banjir nasional 2025, reformasi tata ruang bukan sekadar agenda teknokratis, melainkan harga mati demi kelangsungan hidup kota-kota Indonesia. Data dari BMKG, BNPB, hingga lembaga internasional telah memberikan peringatan yang jelas.
Kini, yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan dukungan publik untuk mendorong kebijakan tata ruang yang adaptif dan berkelanjutan. Masa depan kota—dan generasi mendatang—bergantung pada langkah yang kita ambil hari ini.
![]() |
| Penulis adalah Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang, Program Studi Ekonomi Syariah |



Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih