Begini Sejarah Kepulauan Mentawai


Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Kabupaten ini berada di luar dari wilayah pulau Sumatra, terdiri atas empat pulau utama. Kabupaten Kepulauan Mentawai dibentuk berdasarkan UU RI No. 49 Tahun 1999. 

Kepulauan Mentawai merupakan bagian dari serangkaian pulau non-vulkanik dan gugus kepulauan itu merupakan puncak-puncak dari suatu punggung pegunungan bawah laut. Sebelum zaman es mencair, pada mulanya Mentawai bersama dengan pulau-pulau dibagian utara merupakan semenanjung dari daratan Sumatera. 

Sebagaimana di ungkapkan Ronald Tilson dalam tulisannya berjudul The Mentawai Island (1973) bahwa pada masa pleistocen terjadilah perubahan cepat pada permukaan bumi. Mencairnya es di Kutub Utara dan Kutub Selatan menyebabkan tenggelamnya banyak daratan di permukaan bumi. 

Beberapa bagian dari daratan semenanjung barat Sumatera tenggelam bagian yang tertinggi menjadikannya pulau dan terbentuklah kepulauan Mentawai yang terpisah dari daratan Sumatra seperti keadaan sekarang.  

Nama Mentawai memiliki arti, Ada beberapa pendapat dari sejumlah antropolog maupun pengamat sejarah kebudayaan Mentawai tentang asal mula nama Mentawai. Edwin M. Loeb dalam bukunya Sumatra: Its History and People (1972) menyatakan, nama itu berasal dari Simanteu, yaitu kata untuk menunjukan orang lelaki.  

Herman Sihombing dalam bukunya berjudul Mentawai (1960) dan Stefano Coronese (1972) menyatakan nama Mentawai berasal dari Aman Tawe, yakni tanah milik Ama Tawe (Bapak Tawe) selain itu ada yang menafsirkan nama Mentawai berasal dari kata Amanta dan Woi. 

Amanta artinya bapak, sedangkan Woi merupakan kata teriakan. Orang yang meneriakan Amanta harus dibalas dengan Woi oleh yang lain. Teriakan ini merupakan suatu kebiasaan bagi penduduk asli yang menggunakan komunikasi jika beberapa kelompok berada di dalam hutan agar jangan sampai ada orang atau kelompok yang tersesat. 

Pada jarak tertentu dalam perjalanan di hutan diteriakan Amanta yang harus mendapat balasan Woi seperti Amanta…Woi, yang kemudian menjadi Mentawai. Suku Mentawai, Suku Sakuddei, Suku Minangkabau adalah penduduk utama di kabupaten ini, secara garis besar masyarakat ini tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang asal usul mereka, walaupun ada di antara mereka mengenal beberapa mitologi yang kadang agak kabur dan sukar dipercaya.

Sebagaimana suku bangsa lainnya di nusantara, masyarakat mentawai juga mengenal seni dalam kehidupan. Mereka senang sekali bernyanyi dan menari. Potensi seni ini dapat menjadi daya tarik mentawai sebagai destinasi wisata, yakni adanya tarian tradisional yang dinamakan turuk yang diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang orang mentawai. 

Tari-tarian tradisional masyarakat mentawai umumnya mengungkapkan kegembiraan, bercerita tentang alam, hasil jerih payah berburu, hubungan manusia dengan alam, hubungan manusia dengan roh. Keharmonisan kehidupan masyarakatnya serta tarian yang menjadi ritual adat yang dilakukan seorang sikerei. 

Sikerei adalah sebutan bagi seorang dukun di di daerah kepulauan mentawai, sumatera barat. Sikerei dinobatkan melalui upacara khusus yang disebut taddek. Bagi orang Mentawai, kerei adalah pengetahuan, keahlian, serta keterampilan akan pengobatan dan tanaman obat. 

Orang yang dapat berhubungan dengan roh-roh dan jiwa orang-orang di alam nyata maupun di alam gaib .  Oleh karena keistimewaan tersebut, sikerei memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan orang Mentawai. 

Sikerei menjadi tokoh pengobatan dan spiritual dan pemimpin ritual dalam setiap upacara adat atau punen (pesta) di uma (rumah adat Mentawai). Kemampuan istimewa seorang sikerei tidak diperoleh begitu saja, ada beberapa tahapan dan ujian yang harus dilalui seseroang untuk menjadi sikerei, Ia harus melalui proses yang panjang untuk mendapatkan pengetahuan tentang ramuan obat-obatan, ritual atau upacara adat, menyanyikan-nyanyian (urai sikerei) , dan tari (turuk sikerei). 

Semua itu didapatkan dengan belajar dari sikerei senior. Sikerei senior berperan sebagai guru dan pembimbing yang disebut dengan sipaumat. Meskipun tidak ada batasan untuk jenis kelamin untuk menjadi sikerei, pada umumnya dan bahkan dapat dikatakan sebagian besar sikerei adalah laki-laki dan bersama dengan rimata (pemimpin kelompok kerabat/klan) dia memimpin suatu upacara. 

Bagi sikerei yang berjenis kelamin perempuan, pada dasarnya adalah bersifat membantu sikerei laki-laki dan biasanya adalah istri dari sikerei tersebut. Pekerjaan sikerei perempuan hanyalah terbatas pada membantu suaminya. Akan tetapi, pada masa sekarang sikerei perempuan atau istri dari sikerei bekerja untuk membantu persalainan dan mengobati penyakit anak-anak.  

Masyarakat Mentawai sangat menghormati sikerei karena dipandang sebagai orang yang memiliki kedewasaan, kedewasaan, dan kearifan dalam menjalankan tradisi dan adat istiadat. 

Serta pelayanan dan kemampuannya dalam memberikan pengobatan termasuk juga termasuk kepada anggota uma. Orang yang bukan sikerei disebut simatak yang berarti mentah. Akan tetapi, perbedaan sebutan tidak menciptakan perbedaan kelas atau strata sosial dalam kehidupan masyarakat Mentawai.

Mentawai memiliki kepercayaan yaitu Arat Sabulungan. Arat Sabulungan adalah kepercayaan asli bagi masyarakat suku bangsa Mentawai yang berasal dari Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia, teristimewa orang Sakuddei di pulau Siberut. 

Secara bahasa, Arat berarti adat, Sa berarti sekitar, dan bulungan artinya daun. Sebutan Sabulungan lahir karena acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya bisa menjadi perantara hubungan manusia dengan tuhan yang disebut dengan Ulau Manua. 

Awalnya, istilah arat tidak dipergunakan dan nama yang lebih sering dipakai adalah punen yang memiliki arti kegiatan, upacara, atau pesta. Seiring berjalannya waktu, diperkenalkanlah istilah arat pada era 1950-an untuk menyebut kepercayaan ini. 

Jadi, kata arat mewakili kepercayaan atau ideologi sementara punen lebih sering mengacu pada perayaan seremonial dan upacara. Dipakainya istilah arat dilatarbelakangi oleh kebutuhan pemerintah dan para misionaris untuk menyebut berbagai agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional. 

Sabulungan kemudian dikategorikan sebagai agama setelah ditambahkan istilah arat. Istilah ini juga diberikan kepada agama yang dibawa dari luar Mentawai seperti arat Katolik, arat Protestan, dan arat Islam. Kepercayaan Arat Sabulungan mengandung dua keyakinan, yaitu keyakinan mengenai adanya hubungan gaib antara berbagai hal yang berbeda. 

Kemudian keyakinan kedua adalah adanya kekuatan gaib yang memiliki kesaktian namun tidak berkemauan dalam alam sekitar manusia. Meski mayoritas masyarakat Mentawai sudah menganut agama Katolik di samping Protestan, Islam dan Baha'i, kepercayaan Arat Sabulungan masih mampu bertahan bersama sebagian penganutnya. (Penulis PANDU WINATA, MAHASISWA UNAND JURUSAN SASTRA MINANGKABAU)


Tidak ada komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Diberdayakan oleh Blogger.