Cerminan Toleransi dalam Manuskrip Kesusastraan Sasak


Juni Kartika/Mahasiswa Universitas Andalas Jurusan Sastra Indonesia

Foto : Google Image


Lombok, Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu  tempat yang sangat terkenal sebagai surganya Objek wisata. Misalnya saja, Rinjani, Pulau dengan luas ±5.435 km² yang puncak tertingginya  adalah gunung Rinjani. 

Gunung yang diakui sebagai gunung terindah di Indonesia, hampir semua pendaki mungkin setuju dengan pernyataan satu ini. 

“Mungkin beberapa gunung indah dilihat dari bawah, beberapa lainnya indah dilihat dari atas, tapi Rinjani tampak sangat indah dilihat dari manapun” itulah statement dari pengamat politik terkenal sekaligus guru besar UI, Rocky Gerung. 

Mungkin karena saking dominannya keindahan geografi alam Lombok, culture masyarakatnya jadi tidak terlalu disorot, padahal di pulau lombok terdapat keragaman masyarakat yang sangat unik. 

Sasak adalah bahasa resmi yang digunakan sebagai bahasa sehari hari di Lombok. Padahal  Nama sasak sekaligus sebagai nama sebuah suku di Lombok. Nama sasak berasal dari kata sak sak , yang artinya satu , jdi sak sak artinya satu, satu. 

Jika dilihat dari hystory nya, nama uni pada awalnya didapat dari suara tenun tradisional, yang bunyinya sak sak. Jadi di tenun satu satu. Budaya menenun merupakan bagian yang sangat dekat dengan orang sasak. 

Saking dekatnya, bahkan seorang wanita disebut sudah siap menjadi seorang istri bila telah mahir menenun. Hingga lekatlah nama sasak menjadi nama entitas sebuah suku di Lombok. 

Selain Rinjani yang menjadi ikon pulai lombok, Masjid Islamic Center adalah salah satu objek yang sangat diperhitungkan ketika berada di Lombok. Masyarakat lombok merupakan masyarakat yang dekat dengan islam, bahkan bisa dikatakan bukan orang lombok jika tidak beragama islam. 

Namun ada hal yang unik terkait keislaman di Lombok . Masyarakat lombok menganut dua islam yang berbeda, ada yang disebut Wetu Telu, dan Wetu Lima. Wetu Telu adalah masyarakat islam yang tidak sebagaimana islam pada umumnya. 

Mereka tidak puasa di bulan Ramadhan, tidak sholat lima waktu dan lebih mengedepankan keterikatan pada hal ghaib dan para leluhur. 

Misalnya saja, orang Wetu Telu, memiliki keterikatan kuat pada tempat tinggal atau alam, itu sebabnya dewi anjani ratu penguasa gunung Rinjani adalah tokoh yang sangat dihormati oleh orang wetu telu. 

Orang Wetu Telu hanya sholat tiga kali dalam setahun, yakni taraweh di bulan Ramadhan, sholat hari raya idul Fitri dan idul Adha. Padahal menurut islam yang sebenarnya ketiga sholat tersebut hukumnya tidak wajib. 

Pada Wetu Telu, peran kyai sangat sentral, mereka perlu mendoakan orang yang telah meninggal agar masuk surga, sedangkan beberapa tokoh lainnya seperti dukun, pemangku, dan sejenisnya juga rentetan dari tokoh-tokoh penting pada orang Wetu Telu.

Sedangkan penganut Wetu Lima adalah penganut islam sebagaimana mestinya yang beraliran sunni. Kepercayaan dari Wetu Telu dan Wetu Lima tentu akan sangat kontra. Masyarakat Wetu Lima juga tentu beranggapan bahwa penganut Wetu Telu adalah kaum yang sesat. 

Namun mengemukakan opini ini akan memicu kontroversi antar penganut. Penganut Wetu Telu bisa disebut sebagai masyarakat Animisme, yang mengalami sinkretisme ke arah dinamisme dan antrophophisme. 

Pengaruh ini didapat dari masyarakat bali yang idealnya beragama hindu, tepatnya dari kerajaan Karangasem. 

Sedangkan pengaruh islam didapat dari orang melayu yakni para pendakwah gummi. Semua sejarah sinkretisme budaya tercermin dengan jelas tampak pada naskah-naskah lama manuskrip. Para ahli filolog mendapatkan banyak informasi atau jendela pengetahuan baru dari naskah-naskah lama. 

Pulau Lombok adalah pulau yang kaya akan naskah lama. Namun sayangnya naskah-naskah kurang digali dan diteliti untuk dikembangkan, padahal potensi untuk hal itu cukup besar. 

Salah satu jurnal yang menjadi rujukan saya dalam menulis artikel ini adalah jurnal Manuskripta dari perpousnas, yang ditulis oleh Oman Fathurahman seorang guru besar UIN Syarif Hidayatullah, yang berjudul Sastra Sasak Selayang Pandang.

Walaupun bahasa sehari hari yang digunakan di lombok adalah bahasa sasak, namun untuk kepentingan kesusastraan suku sasak menggunakan bahasa jawa, aksara jejawen. 

Namun bahasa jawa yang digunakan telah banyak mendapat pengaruh dari bahasa bali, dan melayu, alhasil bahasa jawa yang dipakai di lombok merupakan logat tersendiri.  

Beberapa cerita naskah yang dirincikan pada jurnal tersebut yaitu naskah puspakrama, Juwarsah, bandarsela, Cilinaya, dan kertanah. Masing-masing naskah mengedepankan satu peran utama, pola dan amanat. 

Dari catatan kesusastraan tersebut tampak hubungan baik antara beberapa kelompok entitas masyarakat, diantaranya masyaray hindu Bali, masyarakat jawa, dan masyarakat lombok yang saling mempengaruhi. 

Secara keseluruhan kesusastraan lombok merupakan suatu bulatan tentang kebudayaan bersatu dan bersama. Kebersamaan dan kesopansantunan  tidak boleh di abaikan demi keberlangsungan kebudayaan dan kehidupan yang baik dan berbudi. 

Sekaligus sebagai sebuah amanat penting yang sangat akan terpakai pada masyarakat multikultural seperti bangsa kita Indonesia yang sebagaimana kita tau memiliki keberagaman agama, adat, ras dan budaya. (***/)

Tidak ada komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Diberdayakan oleh Blogger.