Ini Permainan Tradisional ‘Nit-Nit’ dari Kampung Galanggang Hantu, Nagari Sungai Pua

0
Anak-anak sedang asyik bermain tradisional Nit-Nit di Kampung Gelangang Hantu Sungai Pua Kabupaten Agam.


Oleh : M. Dzaki Annafi.N, Mahasiswa Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas


--------------ooo--------


Di tengah gempuran media sosial, internet, dan permainan digital yang semakin mendominasi kehidupan anak-anak masa kini, keberadaan permainan tradisional seolah semakin tergeser. 


Di era yang serba digital ini, kita semakin jarang melihat anak-anak berlarian di lapangan, tertawa riang dengan kawan sebaya, atau berebut giliran dalam permainan tradisional yang dulu begitu akrab dalam kehidupan kita. 


Mereka lebih sering tertunduk pada layar ponsel, larut dalam dunia virtual yang menggantikan interaksi nyata. Namun, di Kampung Galanggang Hantu, Nagari Sungai Pua, Kabupaten Agam, masih ada secercah harapan tentang bagaimana anak-anak menikmati masa kecilnya dengan permainan khas daerah, salah satunya adalah permainan yang dikenal dengan nama “Nit-Nit”.


Nama permainan “Nit-Nit” memang terdengar unik dan cenderung lucu. Bahkan, ketika penulis mencoba menelusuri asal-usul penamaannya dengan bertanya langsung kepada beberapa tokoh masyarakat dan orang tua di daerah tersebut.


Kebanyakan dari mereka tidak bisa menjelaskan secara pasti mengapa permainan ini dinamakan demikian. Nama itu diwariskan secara turun-temurun, tanpa kejelasan sejarah atau makna yang menyertainya. 


Namun justru di situlah daya tariknya permainan ini bukan hanya tradisional, tetapi juga misterius dalam asal-usulnya.


Permainan Nit-Nit dimainkan oleh anak-anak, umumnya anak TK hingga SD. Jumlah pemainnya pun sebetulnya bervariasi, minimal tiga orang, dan bisa dimainkan oleh lebih banyak anak tergantung luas arena permainan. 


Dalam permainan ini bisa dilakukan oleh anak laki-laki dan anak perempuan. Namun, secara umum yang ditemukan penulis bahwa rata-rata permainan ini dilakukan oleh 5 hingga 10 orang anak-anak. 


Tempat bermainnya pun tidak harus lapangan khusus seperti, halaman rumah, tanah lapang, atau galanggang kosong pun bisa menjadi arena yang seru bagi anak-anak.


Permainan ini tidak membutuhkan alat-alat mahal atau rumit. Cukup tujuh buah batu bata dan satu batu kecil sebagai pelengkap. Batu bata disusun bertingkat satu per satu, hingga membentuk tumpukan setinggi tujuh susun. 


Di bagian paling atas, diletakkan satu batu kecil sebagai penanda pusat permainan. Batu kecil ini akan menjadi titik sentral interaksi antara si penjaga dan para pemain yang bersembunyi.


Permainan dimulai dengan suit untuk menentukan siapa yang menjadi “penjaga” atau pihak yang kalah. Penjaga bertugas menyusun batu bata, lalu menutup mata sambil menghitung dari angka satu hingga lima puluh. 


Sementara itu, pemain lain bersembunyi di sekitar area permainan. Setelah hitungan selesai, penjaga mulai mencari para pemain yang bersembunyi. 


Para pemain memiliki satu tujuan yaitu mendekati tumpukan batu dan merobohkannya sebelum tertangkap atau diketahui keberadaannya oleh si penjaga.


Jika penjaga menemukan seorang pemain, ia harus segera berlari menuju tumpukan batu dan menyebutkan nama si pemain sembari menekan batu kecil di atas tumpukan, sambil mengucapkan kata “Nit-Nit” yang diiringi awalnya oleh nama si pemain (misalnya: “Nafi Nit-Nit”). 


Namun, jika pemain yang bersembunyi lebih cepat mencapai batu bata, ia bisa langsung menghantam tumpukan tersebut hingga roboh. Siapa yang lebih cepat mencapai tumpukan baik itu penjaga atau pemain akan menentukan jalannya permainan selanjutnya.


Permainan ini dimainkan dalam lima ronde. Jika dalam ronde pertama si penjaga gagal mempertahankan tumpukan batu karena dihancurkan oleh pemain, maka ia tetap menjadi penjaga di ronde berikutnya. 


Namun, jika penjaga berhasil menemukan semua pemain dan menyebutkan nama mereka dengan benar, maka pemain yang pertama disebutkan akan menggantikan posisi penjaga di ronde berikutnya. Begitu seterusnya hingga lima ronde selesai.


Namun, menariknya di ronde kelima terdapat sedikit aturan tambahan yaitu tumpukan batu tidak boleh lagi dihancurkan seperti sebelumnya oleh para si pemain, melainkan hanya boleh disentuh pada batu kecil di bagian atas sambil menyebutkan “Nit-Nit”. 


Artinya, kecepatan dan ketepatan menjadi faktor penentu utama, sekaligus menguji kemampuan anak-anak dalam strateginya masing-masing. Biasanya di ronde kelima ini anak-anak yang bersembunyi akan lebih hati-hati dan begitupun si penjaga yang akan lebih siap melihat segala aspek sekitaran arena.


Permainan ini sekilas mungkin tampak sederhana. Namun jika diperhatikan lebih dalam, Nit-Nit menyimpan banyak nilai-nilai yang penting dalam pembentukan karakter anak. Permainan ini menumbuhkan rasa kebersamaan, sportivitas, tanggung jawab, dan kejujuran. 


Ketika si penjaga menghitung sambil menutup mata, kejujuran sangat diuji: apakah ia benar-benar menghitung hingga angka 50? Begitu juga dengan anak-anak yang bersembunyi : apakah mereka sungguh mencari tempat persembunyian di area permainan, atau malah sembunyi di dalam rumah demi menghindari risiko ditemukan?


Tak jarang pula ditemukan konflik kecil dalam permainan ini, misalnya karena pemain dianggap curang atau tidak adil. Namun justru di situlah letak pembelajaran sosialnya. 


Anak-anak belajar menyelesaikan konflik, memahami aturan, dan saling memaafkan. Semua proses itu berlangsung alami, melalui tawa, kejar-kejaran, dan adu cepat menuju batu bata yang tersusun.


Kini, permainan Nit-Nit mungkin tidak sepopuler dulu. Tapi nilainya tetap relevan. Dalam era digital seperti sekarang, permainan seperti ini bukan sekadar hiburan, melainkan warisan budaya yang sarat makna. 


Sudah saatnya masyarakat, khususnya orang tua dan para pendidik, kembali mengangkat permainan tradisional seperti Nit-Nit sebagai bagian dari keseharian anak-anak. Tidak hanya agar tradisi ini tidak punah, tetapi juga demi memberikan ruang yang sehat bagi anak-anak untuk tumbuh dan belajar bersama. 


Barangkali permainan ini tidak tercatat dalam buku sejarah atau kurikulum pendidikan formal, tapi dari Nit-Nit, anak-anak belajar lebih dari sekadar menang atau kalah. (***/Sungai Pua, Kabupaten Agam)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top