![]() |
Gambar hanya ilustrasi. Foto.Google Image |
Oleh: Rahul Adelson, Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas
---------------------
PRIBAHASA merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kekayaan budaya Minangkabau. Ia tidak hanya memperindah bahasa, tetapi juga memuat nilai-nilai moral, panduan etika, dan cerminan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Filosofi hidup orang Minang yang mengajarkan “alam takambang jadi guru” menekankan bahwa manusia harus belajar dari lingkungan dan peristiwa di sekitar.
Dalam konteks tersebut, pribahasa tidak lahir dari kehampaan, melainkan dari pengamatan tajam terhadap tingkah laku manusia dan dinamika sosial yang terus berkembang.
Salah satu ungkapan yang sarat makna dan patut direnungkan adalah “Bak diarok kain basah, bak diimpik lae.” Pribahasa ini sering digunakan oleh masyarakat Minang untuk menggambarkan seseorang yang berada dalam kondisi ragu-ragu, tidak mantap mengambil keputusan, dan tidak memiliki ketegasan dalam bertindak.
Biasanya digunakan terhadap orang-orang yang memiliki keinginan besar, namun tidak disertai dengan langkah nyata. Mereka hanya berangan, tetapi enggan berjuang secara sungguh-sungguh untuk mewujudkannya.
Saya pertama kali mendengar ungkapan ini dari kakek saya, seorang ninik mamak yang disegani di kampung. Ia menjelaskan bahwa ungkapan tersebut mencerminkan seseorang yang bercita-cita tinggi, ingin menjadi pemimpin atau tokoh masyarakat, namun hatinya masih diliputi keraguan.
Keinginannya tampak begitu kuat dari luar, tetapi di dalam hatinya belum benar-benar siap menghadapi tanggung jawab besar yang akan diemban. Alhasil, semua niat dan rencana yang ada hanya tinggal sebagai wacana yang tidak pernah terealisasi.
Dalam pandangan adat Minangkabau, ketegasan dan keberanian merupakan dua sifat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Masyarakat tidak menaruh harapan kepada orang yang mudah goyah, yang hari ini mengatakan "ya", tetapi besok berubah menjadi "tidak".
Oleh karena itu, ungkapan ini sering kali menjadi sindiran halus bagi mereka yang dianggap tidak siap mental dalam memikul amanah. Pribahasa ini adalah bentuk nasihat yang membungkus kritik dengan bahasa yang lembut namun tajam secara makna.
Lebih jauh lagi, ungkapan ini menjadi simbol dari krisis keyakinan diri. Seseorang yang terlalu banyak berpikir, terlalu banyak menimbang kemungkinan buruk, cenderung kehilangan momentum untuk bertindak. Ketika keputusan tidak segera diambil, peluang pun bisa hilang.
Akibatnya, bukan hanya impian yang kandas, tetapi juga kepercayaan orang lain yang luntur. Orang-orang seperti ini kerap dianggap tidak dapat diandalkan dalam mengambil peran penting dalam masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak contoh konkret yang mencerminkan makna dari ungkapan ini. Salah satunya adalah kisah seorang pemuda bernama Rafi.
Ia sering berbicara lantang soal perubahan di kampungnya, aktif dalam berbagai kegiatan sosial, dan memiliki wacana besar untuk mencalonkan diri sebagai wali nagari. Namun ketika masa pendaftaran tiba, ia tiba-tiba mundur dengan alasan belum siap, kurang dukungan, dan takut kalah.
Keputusan ini membuat orang-orang tua di kampungnya kecewa. Salah seorang tetua bahkan berkata, “Rafi tu bak diarok kain basah, bak diimpik lae.” Mereka menilai Rafi sebagai sosok yang penuh gagasan, tetapi kosong dalam aksi.
Contoh lain dapat dilihat dalam dunia pendidikan. Banyak siswa yang memiliki impian besar untuk masuk perguruan tinggi ternama. Mereka sering berbicara tentang cita-cita, visi masa depan, dan bahkan menuliskannya di media sosial.
Namun dalam kenyataan, mereka tidak menunjukkan kesungguhan dalam belajar. Mereka justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak mendukung tujuan mereka. Akhirnya, ketika hasil ujian tidak sesuai harapan, mereka kecewa. Tapi pada dasarnya, mereka sendiri tidak bersungguh-sungguh.
Fenomena serupa juga terjadi dalam dunia wirausaha. Tak sedikit orang yang punya ide bisnis kreatif dan inovatif. Mereka merancang konsep, membuat rencana, bahkan berbicara kepada banyak orang tentang proyek besar yang ingin dibangun.
Tapi ketika saatnya tiba untuk memulai mengambil risiko, keluar dari zona nyaman, berhadapan dengan kenyataan mereka mundur. Terlalu banyak perhitungan, terlalu takut gagal, terlalu menunggu waktu yang sempurna. Padahal dalam dunia nyata, kesempurnaan tidak akan pernah datang jika kita tidak memulainya dengan langkah kecil.
Di era modern ini, ungkapan ini justru menjadi semakin relevan. Kita hidup di zaman yang menawarkan banyak pilihan, tetapi juga membebani kita dengan ekspektasi tinggi dan ketakutan gagal.
Banyak orang, khususnya generasi muda, mengalami krisis kepercayaan diri. Mereka merasa belum cukup siap, belum cukup layak, atau belum punya semua sumber daya yang dibutuhkan. Alhasil, mereka terus menunda, menunggu, dan bermimpi tetapi tidak pernah benar-benar bergerak. Fenomena imposter syndrome dan overthinking semakin meluas, membuat banyak orang tidak berani mengeksekusi ide yang sebenarnya sudah mereka siapkan dengan matang.
Dari sudut pandang pendidikan karakter, pribahasa ini sangat penting untuk dikenalkan kembali, terutama kepada generasi muda. Ia bukan hanya menjadi alat refleksi, tetapi juga menjadi motivasi.
Dalam pembelajaran di sekolah, kegiatan kepemudaan, maupun lingkungan keluarga, nilai-nilai yang terkandung dalam pribahasa ini bisa dijadikan bahan diskusi. Anak-anak perlu dilatih untuk berani membuat keputusan, bertindak secara konsisten, dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap impiannya sendiri.
Pendidikan yang baik tidak hanya membekali mereka dengan ilmu, tetapi juga membentuk watak dan keberanian untuk menghadapi tantangan hidup.
Pribahasa ini juga sangat relevan dalam konteks pembangunan masyarakat. Untuk menciptakan perubahan nyata di kampung, nagari, atau bahkan bangsa, dibutuhkan sosok-sosok yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga siap mengambil peran.
Seseorang yang ingin memimpin harus terlebih dahulu memiliki keberanian untuk keluar dari keraguan. Dalam adat Minangkabau, keberanian dan ketegasan adalah dasar dari kepercayaan. Jika seseorang sudah menunjukkan keraguan sejak awal, maka sulit bagi masyarakat untuk menaruh harapan kepadanya.
Pada akhirnya, “Bak diarok kain basah, bak diimpik lae” bukanlah sekadar ucapan yang dilontarkan dalam perbincangan sehari-hari. Ia adalah nasihat yang dalam, penuh makna, dan tetap relevan sepanjang zaman.
Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang mimpi dan niat baik, tetapi juga tentang keberanian untuk melangkah, meskipun dengan risiko yang besar. Jangan menunggu semuanya sempurna untuk memulai. Sebab sering kali, keberanian itu sendiri yang akan membentuk kesiapan kita.
Saya masih mengingat jelas nasihat kakek saya: “Kalau hati masih ragu, jangan mulai. Tapi kalau sudah yakin, jangan mundur.” Kalimat ini mengandung kekuatan yang luar biasa. Ia menjadi semacam panduan dalam menghadapi setiap pilihan hidup.
Kita tidak akan pernah tahu hasil dari langkah yang belum kita ambil. Maka, lebih baik mencoba meskipun gagal, daripada tidak pernah mencoba dan hanya hidup dalam penyesalan. Sebab sesungguhnya, orang yang gagal karena mencoba masih lebih terhormat daripada orang yang hanya bermimpi sepanjang hidupnya tanpa pernah bergerak. (**/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih