![]() |
Foto ilustrasi sumber google image |
Oleh : Salwah Nadhila, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
------------
Di era digital saat ini, media sosial menjadi ruang utama untuk berinteraksi dan bertukar informasi. Platform seperti X (Twitter), Instagram, TikTok, hingga Facebook bukan hanya tempat berbagi ide, tetapi juga arena pembentukan opini publik.
Namun, di balik manfaatnya, media sosial juga menjadi lahan subur bagi berkembangnya wacana yang merugikan perempuan, salah satunya melalui fenomena internalized misogyny.
Internalized misogyny atau misogini yang terinternalisasi adalah kondisi ketika perempuan, tanpa disadari, menerima, membenarkan, bahkan memperkuat pandangan dan stereotip seksis yang merugikan sesama perempuan.
Fenomena ini lahir dari budaya patriarki yang telah mengakar kuat di masyarakat. Kehadiran media sosial, dengan sifatnya yang anonim dan bebas, semakin mempercepat penyebaran nilai-nilai misoginis melalui konten, komentar, hingga tren yang tampak sepele tetapi sarat bias gender.
Di media sosial, perempuan sering menjadi sasaran kritik tajam—mulai dari komentar mengenai tubuh, pilihan gaya hidup, hingga prestasi. Semua itu kerap diukur dengan standar ganda.
Contohnya, perempuan yang percaya diri atau tampil menonjol sering dicap sebagai “attention seeker” atau “tidak pantas”, sedangkan laki-laki dengan perilaku serupa justru dianggap berani atau karismatik.
Ironisnya, fenomena ini tak hanya dipicu oleh laki-laki. Internalized misogyny mendorong sebagian perempuan untuk menilai sesamanya dengan sudut pandang patriarki : menganggap kompetisi antar perempuan sebagai hal wajar, mengkritik penampilan orang lain dengan standar kecantikan yang sempit, hingga meremehkan prestasi perempuan karena dianggap tak sebanding dengan pencapaian laki-laki.
Peran algoritma media sosial semakin memperbesar dampak negatif ini. Konten sensasional yang memicu emosi, seperti ujaran seksis, body shaming, atau narasi merendahkan perempuan, sering mendapat lebih banyak perhatian dan interaksi.
Akibatnya, pesan-pesan negatif tersebut tersebar luas dan tanpa disadari ikut membentuk cara perempuan memandang dirinya sendiri dan orang lain.
Meski demikian, di tengah kuatnya arus misogini yang terinternalisasi, muncul pula gerakan-gerakan positif. Tagar seperti #WomenSupportWomen, kampanye self-love, dan edukasi tentang kesetaraan gender menjadi upaya kolektif untuk menyeimbangkan wacana.
Tumbuhnya kesadaran perempuan untuk saling mendukung menjadi sinyal penting bahwa pola pikir yang merugikan perlahan mulai dilawan.
Namun, internalized misogyny masih sulit dihilangkan sepenuhnya karena didukung oleh budaya patriarki yang menormalisasi perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.
Kuncinya terletak pada kesadaran kritis: bagaimana perempuan mampu mengenali dan menolak pola pikir seksis, baik saat menilai diri sendiri maupun sesama.
Perlu disadari, internalized misogyny bukan hanya masalah individu, melainkan masalah kolektif yang menghambat tercapainya kesetaraan gender.
Meskipun media sosial sering menjadi penyulutnya, platform ini juga dapat menjadi ruang perubahan. Melalui penyebaran narasi positif, penghargaan terhadap keberagaman, dan penolakan terhadap ujaran seksis, media sosial dapat menjadi lebih sehat dan memberdayakan.
Perlawanan terhadap misogini yang terinternalisasi dimulai dari langkah sederhana: berhenti mengomentari penampilan orang lain dengan standar yang tidak realistis, mengapresiasi pencapaian perempuan lain, dan membangun citra diri positif tanpa terjebak tuntutan patriarki.
Jika semakin banyak perempuan mampu melepaskan diri dari pola pikir misoginis, media sosial bukan hanya akan menjadi ruang interaksi, tetapi juga sarana pemberdayaan dan perubahan nyata. (**/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih