![]() |
Penulis |
Oleh : Lailatul Sa’diah, Mahasiswa Pascasarjana PAI, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat |
---------
Di tengah derasnya arus digitalisasi, sekolah kita kini makin canggih : ruang kelas dilengkapi proyektor, materi pelajaran tersedia dalam genggaman, dan informasi seolah tak berjarak.
Namun, satu pertanyaan penting kerap luput kita renungkan: masih adakah cinta di ruang-ruang belajar kita?
Pertanyaan ini bukan sekadar retorika. Ia lahir dari keprihatinan yang nyata: ruang kelas terasa makin kaku, relasi guru dan siswa kian formal, dan pendidikan lebih sibuk mengejar angka ketimbang menumbuhkan jiwa.
Siswa tertekan oleh tugas, guru dibebani target, dan sistem seolah lupa bahwa esensi pendidikan adalah membangun manusia, bukan hanya mencetak nilai.
Pendidikan Bukan Sekadar Transfer Ilmu
Sering kita temui kelas yang hanya diwarnai ceramah dan hafalan. Guru berperan layaknya pengawas, sementara siswa seperti penampung informasi. Proses belajar pun kian mekanis dan monoton.
Akibatnya, gairah belajar memudar, relasi guru dan siswa menjadi hambar, dan suasana kelas tak lagi memberi rasa aman.
Padahal, pendidikan sejati tak cukup hanya menyentuh akal. Ia perlu menyentuh hati, menumbuhkan empati, dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan.
Tanpa cinta, pengetahuan hanya menjadi teori kering yang mudah dilupakan.
Kurikulum Cinta : Bukan Gagasan Romantis, Tapi Kebutuhan
Di sinilah pentingnya Kurikulum Cinta. Sebuah pendekatan yang menempatkan kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan terhadap siswa sebagai pondasi pendidikan.
Bukan berarti mengganti kurikulum nasional, melainkan melengkapinya agar lebih manusiawi.
Cinta yang dimaksud bukan sekadar kata-kata manis, melainkan terwujud dalam tindakan nyata : guru yang mendengarkan keluh kesah siswanya, menyapa dengan tulus, memberi semangat saat gagal, dan mengapresiasi setiap usaha, bukan hanya hasil.
Guru pun bukan lagi sekadar pengajar, tetapi menjadi sahabat, teladan, dan pendamping tumbuh kembang siswa.
Tantangan di Lapangan
Namun, kita tak bisa menutup mata: menerapkan Kurikulum Cinta bukan perkara mudah. Banyak guru belum terbiasa membangun hubungan emosional yang hangat dengan siswa.
Beban administrasi dan target capaian kurikulum juga sering membuat guru kehilangan waktu untuk mendekatkan diri kepada murid.
Belum lagi, budaya sekolah yang terlalu fokus pada hasil akademik menjadikan interaksi guru dan siswa lebih formal daripada personal.
Sayangnya, tanpa relasi yang hangat, pendidikan karakter pun hanya jadi teori. Padahal, membentuk karakter sejatinya adalah menanamkan cinta : cinta kepada sesama, cinta kepada kebaikan, dan cinta kepada proses belajar itu sendiri.
Peran Keluarga dan Kebijakan Pendidikan
Membangun pendidikan yang penuh cinta tak cukup hanya mengandalkan sekolah. Keluarga punya peran penting, sebab cinta pertama yang dirasakan anak seharusnya berasal dari rumah.
Kehangatan, keteladanan, dan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak menjadi pondasi kuat agar anak lebih siap membangun relasi positif di sekolah.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan juga dapat mengambil langkah nyata: misalnya menyediakan pelatihan guru tentang keterampilan sosial-emosional dan komunikasi yang empatik.
Sekolah juga dapat memulai dari hal kecil: menyapa siswa dengan senyum, memberi ruang dialog, hingga menyediakan suasana belajar yang aman dan menyenangkan.
Kebijakan Merdeka Belajar sebenarnya membuka peluang besar. Dengan fleksibilitasnya, sekolah punya ruang untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih kontekstual dan berpusat pada siswa.
Kurikulum Cinta dapat menjadi “ruh” yang menghidupkan semangat kebebasan belajar itu: bukan hanya bebas memilih materi, tetapi juga bebas membangun hubungan yang penuh kasih.
Pendidikan yang Menghidupkan Hati
Pada akhirnya, pendidikan sejati bukan hanya menghasilkan lulusan yang cerdas secara akademik, tetapi juga berkarakter luhur.
Dari cinta tumbuh empati, tanggung jawab, kejujuran, dan rasa hormat. Perubahan besar sering kali bermula dari hal-hal sederhana : senyum guru yang tulus, telinga yang mau mendengar, dan ruang kelas yang memberi rasa aman.
Mungkin inilah saatnya kita kembali bertanya: masih adakah cinta di sekolah kita? Jika jawabannya belum, maka Kurikulum Cinta bisa menjadi langkah awal untuk memulihkannya. Karena pada akhirnya, mendidik adalah soal hati – dan hati hanya bisa hidup dengan cinta. (***/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih