Peran Orang Tua dan Anak dalam Keluarga : Menjaga Keseimbangan Tanggung Jawab

0

 

Ilustrasi Keluarga Ayah, Ibu dan Anak. Foto by Google Image


Oleh : Imam Syamil Alauddin, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas

------------

Di Indonesia, keluarga memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan setiap individu. Nilai-nilai kekeluargaan yang kuat menanamkan pandangan bahwa anak-anak harus menghormati dan merawat orang tua mereka. 


Namun, nilai ini juga dapat memunculkan tantangan, terutama ketika anak-anak diminta mengambil tanggung jawab yang semestinya menjadi peran orang tua. 


Fenomena ini dikenal sebagai parentifikasi—kondisi di mana anak harus berperan sebagai pengasuh, penyedia emosional, atau pemecah masalah dalam keluarga.


Apa Itu Parentifikasi?


Parentifikasi terjadi ketika anak-anak, baik karena terpaksa maupun merasa harus, memikul tanggung jawab yang sebenarnya menjadi tugas orang tua. 


Fenomena ini sering muncul dalam keluarga yang sedang menghadapi tekanan ekonomi, emosional, atau sosial. Misalnya, anak diminta menjaga adik-adiknya, menjadi pendengar setia keluhan orang tua, hingga ikut memikirkan solusi atas persoalan rumah tangga.


Budaya kekeluargaan yang erat di Indonesia, meskipun positif, kadang dapat menjadi pemicu parentifikasi. Anak-anak merasa memiliki kewajiban moral memenuhi harapan keluarga, meskipun mereka sendiri masih membutuhkan bimbingan dan kasih sayang. Akibatnya, masa kanak-kanak yang seharusnya penuh keceriaan dan pembelajaran berubah menjadi periode yang sarat beban.


Dampak Parentifikasi terhadap Anak dan Keluarga


Berbagai penelitian menunjukkan parentifikasi dapat berdampak negatif bagi perkembangan emosional anak. Anak-anak yang harus berperan seperti orang dewasa cenderung merasa tertekan, cemas, dan menekan kebutuhan pribadi demi keluarga. Mueller (2019) mencatat bahwa anak-anak dalam situasi seperti ini lebih berisiko mengalami kecemasan, depresi, dan kesulitan menjalin relasi sehat di masa depan.


Meski begitu, tidak sedikit pula pendapat yang melihat sisi positif parentifikasi, terutama dalam konteks budaya yang menekankan solidaritas keluarga. 


Anak-anak yang membantu keluarga sejak kecil dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri, peduli, dan memiliki rasa tanggung jawab tinggi. Dalam beberapa kasus, peran ini juga dapat mempererat hubungan emosional antara anak dan orang tua.


Menjaga Keseimbangan Peran


Budaya keluarga yang erat memang bernilai positif, tetapi keseimbangan tetap penting. Orang tua memiliki tanggung jawab utama mendidik, merawat, dan melindungi anak-anak. Sementara anak, meskipun dapat membantu, harus tetap diberikan ruang untuk menikmati masa kecil tanpa beban berlebih.


Memberikan tanggung jawab yang sesuai usia adalah salah satu kunci. Misalnya, membantu pekerjaan rumah ringan adalah hal wajar, tetapi menjadi tumpuan emosional atau pengambil keputusan keluarga adalah tanggung jawab yang terlalu besar bagi anak. 


Dengan keseimbangan peran, anak-anak dapat tumbuh di lingkungan yang mendukung perkembangan emosional dan psikologis mereka.


Dukungan dan Pendidikan Keluarga


Untuk meminimalkan dampak negatif parentifikasi, keluarga memerlukan dukungan, baik dari masyarakat maupun lembaga pendidikan. Edukasi tentang pembagian peran yang sehat perlu diperkuat, termasuk pemahaman pentingnya kesehatan mental anak. Selain itu, orang tua diharapkan lebih terbuka mendengarkan perasaan anak, agar anak merasa dihargai dan tidak takut mengungkapkan beban emosional.


Peran masyarakat juga penting: menciptakan budaya yang tidak semata-mata menilai anak dari seberapa besar “pengorbanannya” untuk keluarga, melainkan juga menghargai kebahagiaan dan kesejahteraan mereka.


Kesimpulan

Parentifikasi adalah fenomena kompleks yang dapat berdampak positif maupun negatif, tergantung bagaimana keluarga menyikapinya. Intinya adalah menjaga keseimbangan: anak-anak perlu didorong untuk belajar bertanggung jawab, tetapi tidak sampai kehilangan masa kanak-kanak mereka. 


Dengan pemahaman lebih mendalam, diharapkan keluarga Indonesia dapat menjadi ruang tumbuh yang sehat—tempat anak merasa aman, dihargai, dan dicintai.



📚 Daftar Pustaka 

Earley, M. A., & Cushway, D. (2002). The parentified child. Clinical Child Psychology and Psychiatry, 7(2), 163–178. https://doi.org/10.1177/1359104502007002005


Hooper, L. M. (2007). The application of attachment theory and family systems theory to the phenomenon of parentification. The Family Journal, 15(3), 217–223. https://doi.org/10.1177/1066480707301290


Hooper, L. M., Marotta, S. A., & Lanthier, R. P. (2008). Predictors of growth and distress following childhood parentification: A retrospective exploratory study. Journal of Child and Family Studies, 17(5), 693–705. https://doi.org/10.1007/s10826-007-9184-8


Jurkovic, G. J. (1997). Lost Childhoods: The Plight of the Parentified Child. New York: Brunner/Mazel.


Jurkovic, G. J., & Thirkield, A. (1998). Parentification questionnaire. In B. H. Stamm (Ed.), Measurement of stress, trauma, and adaptation (pp. 243–247). Lutherville, MD: Sidran Press.


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top