![]() |
(Kredit gambar: Tenielle Jordison/Masa Depan) |
Seorang petani asal Inggris, Charles Dowding, mengguncang dunia pertanian dengan metode “No-Dig” — sistem tanpa olah tanah yang terbukti menghasilkan panen lebih besar, lebih sehat, dan lebih ramah lingkungan. Apa yang bisa dipelajari petani Indonesia dari kisahnya?
----------------
Di berbagai daerah di Sumatera Barat, pemandangan petani mencangkul tanah sebelum menanam masih jadi hal biasa.
Sejak dulu, cara itu dianggap wajib agar tanah gembur dan tanaman bisa tumbuh subur.
Orang tua, kakek-nenek, bahkan penyuluh pertanian selalu menegaskan, “Kalau tidak dicangkul, tanahnya keras. Tanaman tak akan hidup.”
Namun keyakinan itu kini mulai digugat.
Dari negeri jauh di Inggris, seorang petani bernama Charles Dowding justru membuktikan sebaliknya : mencangkul bukan menyuburkan, tapi justru merusak tanah dan membuat petani semakin bergantung pada pupuk kimia.
Charles bukan petani biasa. Ia lahir tahun 1957 di Somerset, Inggris, dan menempuh pendidikan di sekolah elit Eton College, lalu melanjutkan kuliah di Cambridge University jurusan Matematika.
Dengan latar belakang seperti itu, ia bisa saja menjadi profesor atau bankir sukses. Tapi jalan hidupnya berbelok tajam: ia memilih menjadi petani sayur.
Namun, pilihannya bukan sekadar berkebun, melainkan mengubah cara dunia memperlakukan tanah.
Pada tahun 1980-an, saat petani di seluruh dunia sibuk membalik tanah dengan traktor dan cangkul, Charles melakukan hal yang dianggap “gila”: ia berhenti mencangkul.
Metode ini ia sebut “No-Dig Gardening” — atau berkebun tanpa olah tanah.
Filosofinya sederhana tapi mendalam: tanah adalah tubuh yang hidup.
Di dalamnya ada jutaan mikroba, jamur, dan cacing yang bekerja menjaga kesuburan alami.
Ketika tanah dibalik, keseimbangan itu hancur. Mikroba yang butuh oksigen terkubur, sedangkan yang butuh teduh malah terkena sinar matahari langsung.
Solusinya?
Biarkan tanah bekerja sendiri. Petani hanya perlu memberi lapisan kompos di permukaan sebagai “makanan” bagi ekosistem di dalam tanah.
Eksperimen itu dibuktikan Charles di lahannya bernama Homeacres di Somerset.
Luasnya hanya sekitar 0,25 hektare atau 2.500 meter persegi, dengan area tanam 1.000 meter persegi.
Namun hasilnya mengejutkan:
setiap tahun, ia memanen 20 ton sayuran segar, bahkan bisa mencapai 200–300 kilogram per minggu di musim puncak.
Semua itu dilakukan tanpa cangkul, tanpa traktor, tanpa pupuk kimia, dan tanpa pestisida.
Bayangkan, lahan sekecil itu bisa menghasilkan panen lebih besar dari banyak kebun konvensional yang diolah berat setiap musimnya.
Temuan Charles ini memicu perdebatan besar di dunia pertanian.
Jika ia benar, maka selama ini jutaan petani di seluruh dunia telah salah kaprah.
Kita mencangkul dengan keyakinan bisa “menyuburkan tanah,” padahal justru membuatnya miskin dan rapuh.
Sebaliknya, sistem tanpa olah tanah terbukti menghasilkan panen yang lebih tinggi, lebih sehat, dan lebih murah.
Lalu, mengapa metode ini tidak populer?
Apakah karena industri besar pupuk dan alat pertanian sudah terlanjur kuat?
Atau karena kita terlalu percaya pada tradisi tanpa berani meninjaunya kembali?
Kini, Charles Dowding bukan hanya petani, tetapi guru bagi dunia pertanian alami.
Ia menulis lebih dari sepuluh buku, mengajar ribuan orang, dan kanal YouTube-nya diikuti jutaan penggemar.
Melalui eksperimen “side-by-side”, ia memperlihatkan hasil nyata antara lahan yang dicangkul dan yang tidak dicangkul —
dan hasilnya selalu sama: lahan tanpa olah tanah menghasilkan panen lebih baik.
Charles sering berkata, “Kalau kamu merawat tanah dengan lembut, tanah akan membalasmu dengan kelimpahan.”
Yang menarik, metode No-Dig ini tidak hanya cocok untuk petani besar.
Keluarga di rumah pun bisa mempraktikkannya di kebun kecil atau pekarangan.
Tanpa perlu mencangkul, tanah tetap gembur dan subur.
Selain itu, metode ini juga menekan pertumbuhan gulma, menjaga kelembapan, dan menghidupkan kembali ekosistem mikro di bawah permukaan tanah.
Kisah Charles Dowding mengajarkan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari satu sekop yang tidak digunakan.
Jika tanah bisa subur tanpa dicangkul, lalu untuk apa kita terus melakukannya?
Mungkin sudah saatnya kita berhenti “melawan” tanah, dan mulai bekerja sama dengannya.
Seperti kata Charles, “Tanah yang bahagia adalah kunci bagi bumi yang sehat — dan masa depan pangan yang berkelanjutan.” (redaksi/disarikan dari berbagai sumber)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih