Lebih dari Sekadar Nilai : Saat Sekolah Perlu Mengganti Ujian dengan Pemahaman

0


Oleh: Sarafuddin, S.Pd., M.Pd, 
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Slamet Riyadi


Penulis, Sarafuddin, S.Pd., M.Pd, Dosen Universitas Slamet Riyadi


Setiap akhir semester, jutaan siswa di Indonesia menghadapi ritual yang sama: ujian. Berlembar-lembar soal, waktu terbatas, dan tekanan untuk mendapatkan nilai tinggi. Namun setelah ujian berakhir, banyak dari mereka hanya mengingat satu hal—hasilnya, bukan prosesnya.


-----------------------


Pertanyaannya: apakah ujian tradisional benar-benar mengukur kemampuan belajar anak, atau justru membuat mereka belajar untuk diuji, bukan belajar untuk memahami?


Di tengah perubahan zaman dan kebutuhan dunia kerja yang semakin kompleks, model asesmen tradisional mulai terasa usang. Kini, muncul paradigma baru : evaluasi berbasis proyek dan portofolio—pendekatan yang menilai bagaimana seseorang berpikir, bekerja, dan mencipta, bukan sekadar seberapa banyak ia menghafal.


Selama ini, ujian tradisional menjadi simbol kesuksesan akademik. Nilai angka dianggap bukti kecerdasan, padahal sering kali hanya mencerminkan kemampuan jangka pendek dalam menghafal. Akibatnya, siswa belajar karena takut gagal, bukan karena ingin tahu.


Lebih parah lagi, sistem ujian tunggal menciptakan tekanan mental yang tidak perlu. Banyak siswa merasa “gagal” hanya karena satu hari buruk di ruang ujian, padahal proses belajar mereka sepanjang tahun penuh usaha dan kemajuan. Kita seakan lupa bahwa pendidikan bukan lomba cepat hafal, melainkan proses tumbuh sebagai manusia yang berpikir dan berkolaborasi.


Pendekatan asesmen baru—berbasis proyek dan portofolio—membawa arah berbeda.
Anak-anak tidak lagi diuji dengan soal pilihan ganda, tetapi diberi ruang untuk mencipta, menyelesaikan masalah nyata, dan merefleksikan hasil karyanya


Dalam proyek, siswa bekerja sama menyelesaikan tantangan yang relevan dengan kehidupan, misalnya merancang sistem pengelolaan sampah di sekolah atau membuat kampanye literasi digital.


Dalam portofolio, mereka mendokumentasikan proses dan hasil belajar, menunjukkan perjalanan berpikir dari awal hingga akhir. Melalui cara ini, guru dapat melihat kemampuan analitis, kreativitas, tanggung jawab, dan kerja sama—hal-hal yang tak pernah bisa diukur lewat lembar jawaban.


Lebih dari sekadar alat penilaian, asesmen berbasis proyek dan portofolio juga menumbuhkan keterampilan hidup (life skills) yang akan berguna jauh setelah mereka meninggalkan bangku sekolah.


Tentu, pergeseran menuju asesmen autentik ini bukan perkara mudah. Banyak guru masih terbebani oleh administrasi, kurang pelatihan dalam menilai proyek siswa, sementara sistem pendidikan masih menuntut angka konkret untuk pelaporan. 


Selain itu, budaya masyarakat pun belum sepenuhnya siap. Nilai rapor masih dianggap tolok ukur utama keberhasilan, bukan kemampuan berpikir atau berkreasi. Padahal, angka tinggi tanpa pemahaman sejati hanyalah ilusi prestasi.


Namun demikian, arah perubahan ini sudah dimulai. Kurikulum Merdeka, misalnya, telah membuka jalan dengan menekankan proyek Profil Pelajar Pancasila yang menilai karakter, kolaborasi, dan kontribusi nyata siswa. Ini merupakan langkah penting menuju sistem pendidikan yang lebih manusiawi.


Perubahan sistem asesmen menuntut perubahan cara pandang guru. Guru bukan lagi “penjaga nilai,” melainkan fasilitator pertumbuhan. Mereka perlu diberi ruang, waktu, dan pelatihan untuk mengembangkan rubrik penilaian yang adil, reflektif, dan berfokus pada proses. 


Sekolah pun harus berani meninggalkan paradigma bahwa “semua harus bisa diukur dengan angka.” Sebab, tidak semua yang penting bisa diukur, dan tidak semua yang terukur itu penting.


Jika ujian tradisional menilai hasil akhir, maka asesmen baru menilai perjalanan.
Jika ujian membuat siswa menunggu penilaian guru, maka proyek dan portofolio mengajak mereka menilai dirinya sendiri.


Pendidikan seharusnya menumbuhkan manusia yang berpikir kritis, kreatif, dan peduli—bukan sekadar cepat menjawab soal. Dunia hari ini tidak lagi menanyakan “berapa nilaimu?”, tetapi “apa yang bisa kamu lakukan dengan pengetahuanmu?”.
Sudah saatnya sekolah berhenti hanya mencetak nilai, dan mulai mencetak makna. (***/)

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top