![]() |
Ratusan nasi jamba siap disantap |
Setiap kali bulan Rabiul Awal tiba, udara di Piaman (Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Pariaman) terasa lain. Suara lantunan selawat, dan aroma santan lemang yang sedang dimasak seolah menjadi tanda datangnya musim Mauluik Gadang.
---------------
Mauluik Gadang — atau Maulid Besar Nabi Muhammad SAW — bukan sekadar acara keagamaan bagi masyarakat Pariaman. Ia adalah perayaan besar yang menyatukan hati, mempererat silaturahmi, dan menghadirkan suasana gembira di setiap nagari.
Menariknya, Mauluik Gadang di Pariaman tidak hanya berlangsung sehari. Dalam tradisi yang sudah turun-temurun ini, peringatan Maulid bisa berjalan selama tiga bulan penuh, dari Rabiul Awal hingga Jumadil Awal. Setiap surau dan masjid bergiliran menggelar acara, menciptakan gelombang perayaan yang seolah tak pernah putus.
“Kalau sudah masuk bulan Maulid, setiap minggu ada saja acara di nagari tetangga. Kadang kami keliling, ikut bantu dan bersilaturahmi,” ujar Samsir (58), warga Nagari Lareh Nan Panjang. “Rasanya rugi kalau tidak ikut, karena Maulid bukan hanya soal ibadah, tapi juga soal kebersamaan.”
Dari satu kampung ke kampung lain, masyarakat bergotong royong menyiapkan segalanya. Anak muda sibuk menghias surau, para ibu memasak di dapur, dan para bapak menyiapkan tempat acara. Suasana yang hangat itu menjadi pemandangan khas setiap kali musim Maulid tiba.
Salah satu yang paling menarik perhatian adalah Bungo Lado, pohon uang yang berdiri indah di tengah surau. Lembaran rupiah tersusun rapi seperti dedaunan, dihiasi warna-warni kertas dan pita. Bungo Lado ini bukan sekadar hiasan, tapi simbol kepedulian sosial. Uang yang terkumpul akan disumbangkan untuk kegiatan keagamaan dan perbaikan rumah ibadah.
Selain itu, ada tradisi Malamang — memasak lemang dari beras ketan dan santan dalam bambu. Lemang menjadi hidangan wajib setiap Maulid. “Lemang ini kami buat bersama-sama. Kadang bisa sampai 50 batang lebih. Nanti dibagi untuk jamaah dan tamu,” tutur Uni Reni (45), warga Toboh Gadang sambil tersenyum.
Baca Juga : Padang Pariaman Hidupkan warisan Budaya Lewat Mauluik Gadang
Malam harinya, suasana menjadi lebih khusyuk dengan Badikie atau Selawat Dulang. Para buya dan jamaah duduk melingkar, menabuh dulang sambil melantunkan pujian kepada Nabi. Suaranya bergema lembut di malam sunyi, membawa ketenangan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Begitu dzikir dan doa selesai, warga tak langsung beranjak pulang. Mereka kembali berkumpul untuk Makan Bajamba — makan bersama dalam satu wadah besar. Tak ada meja panjang atau kursi, hanya tikar dan kebersamaan. Semua duduk bersila, menikmati nasi, sambal lado, dan lauk sederhana sambil berbagi cerita ringan.
“Makan bajamba ini bukan sekadar makan, tapi simbol persaudaraan,” kata Buya Amrizal, tokoh agama dari Kecamatan Sungai Limau. “Di sini semua sama, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Semua bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah.”
Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman pun setiap tahun turut menghadiri perayaan ini. Menurut Bupati Padang John Kenedy Azis, tradisi Mauluik Gadang adalah warisan berharga yang harus dijaga. “Ini bukan hanya kegiatan keagamaan, tapi juga cerminan karakter masyarakat kita — gotong royong, kebersamaan, dan cinta kepada Nabi,” ujarnya.
Lebih dari sekadar seremoni, Mauluik Gadang menjadi ajang mempererat hubungan antarnagari dan antarwarga. Banyak perantau yang pulang kampung khusus untuk ikut meramaikan. “Saya sudah 10 tahun di Batam, tapi tiap Maulid usahakan pulang,” kata Yusril (38), perantau asal Ulakan. “Rasanya tidak lengkap kalau tidak ikut makan lemang dan dengar selawat di kampung.”
Secara budaya, Mauluik Gadang juga memperkuat identitas masyarakat Minangkabau. Nilai-nilai seperti adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah terus hidup di dalamnya. Dalam setiap selawat, ada pesan moral dan spiritual yang meneguhkan iman dan mempererat tali sosial.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, Mauluik Gadang menjadi ruang bagi masyarakat untuk berhenti sejenak, bersyukur, dan kembali merasakan makna kebersamaan. Di sinilah nilai-nilai Islam dan budaya Minang berpadu secara indah.
Dan ketika malam semakin larut, suara selawat masih terdengar dari kejauhan. Lampu surau berkelip di antara pohon kelapa, menandakan satu hal sederhana tapi mendalam — di Ranah Piaman, cinta kepada Nabi tidak pernah padam. (**/redaksi)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih