Daerah Harus Mandiri, Jangan Bergantung ke Pusat : Bisakah Bertahan Tanpa Transfer Dana?

0
Ilustrasi Pemotongan Anggaran. Foto By. Pontianak Post


PERNYATAAN Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa baru-baru ini kembali menggugah kesadaran publik dan para kepala daerah. Ia menegaskan bahwa sudah saatnya daerah belajar mandiri dan tidak terus bergantung pada dana transfer dari pusat. “Kita harus mendorong daerah untuk lebih berdaya dan tidak sekadar menunggu kiriman dari APBN,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta.


Purbaya bahkan berandai-andai, bagaimana jika suatu hari nanti tak ada lagi kucuran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK)? Bisakah daerah bertahan dengan kekuatan fiskalnya sendiri? Pertanyaan itu bukan sekadar wacana, sebab pemerintah tengah meninjau ulang kebijakan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) untuk 2026 demi menjaga keseimbangan fiskal nasional.


Kabar penyesuaian dana transfer ini sempat memicu reaksi di berbagai daerah. Sejumlah gubernur dan bupati menyampaikan kekhawatiran, sebab sebagian besar anggaran mereka masih bergantung pada pusat. 


Namun Purbaya menegaskan, tidak akan ada lagi pemotongan dana transfer sebagaimana tahun sebelumnya. “Kami enggak akan memotong (transfer ke daerah) lagi,” tegasnya, usai menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara (BeritaSatu, 2025).


Meski begitu, sinyal kuat dari pemerintah pusat tetap sama: daerah harus mulai belajar mandiri. Berdasarkan data Kemenkeu, lebih dari 85 persen pendapatan daerah di Indonesia masih bersumber dari transfer pusat.  Hanya segelintir daerah seperti DKI Jakarta, Badung, dan Surabaya yang mampu bertahan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas 50 persen dari total APBD.


Jika aliran dana pusat benar-benar tersendat, banyak daerah akan kesulitan. Gaji ASN, tunjangan pegawai, hingga biaya operasional pemerintahan bisa terancam macet. Belanja publik mungkin tertunda, bahkan pembangunan fisik bisa berhenti total. Namun bagi Purbaya, skenario itu justru menjadi ujian kemandirian fiskal yang sesungguhnya.


“Kita akan cenderung menjalankan kebijakan fiskal yang mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar membagi dana,” jelasnya dalam konferensi pers di Kemenkeu. Pesan itu jelas: daerah harus lebih kreatif menggali potensi lokal agar mampu bertahan tanpa ketergantungan berlebihan.


Kemandirian fiskal bukan berarti melepaskan diri dari pusat, tapi membangun kekuatan ekonomi di tingkat lokal. Sektor pertanian, perikanan, pariwisata, dan UMKM bisa menjadi tumpuan baru jika dikelola secara inovatif. Namun hal itu membutuhkan keberanian dan perubahan cara berpikir di birokrasi daerah.


Rendahnya inovasi pajak dan retribusi juga menjadi penghambat. Banyak daerah belum memiliki sistem digitalisasi pajak yang kuat, sementara kebocoran pendapatan masih tinggi. Padahal, dengan pengelolaan yang modern, potensi PAD bisa meningkat tanpa harus menaikkan tarif pajak.


Jika dana transfer dari pusat benar-benar dikurangi, langkah pertama yang akan diambil daerah tentu efisiensi besar-besaran. Kegiatan seremonial dikurangi, perjalanan dinas ditekan, dan belanja nonprioritas dipangkas. Namun langkah itu tidak akan cukup tanpa reformasi struktur belanja daerah, terutama pada pos pegawai.


Dalam skenario terburuk, pengurangan ASN bisa menjadi opsi pahit yang harus diambil. Menkeu Purbaya telah memperingatkan bahwa pusat tidak mungkin menanggung seluruh beban gaji ASN daerah. Dengan demikian, daerah harus berhitung cermat dan mulai merancang strategi pengelolaan SDM yang lebih produktif.


Beberapa ekonom menilai, jika itu terjadi, daerah bisa mengalihkan sebagian tenaga ASN ke sektor usaha milik daerah (BUMD) atau program pemberdayaan ekonomi lokal. ASN tidak lagi semata beban anggaran, tetapi bagian dari motor penggerak ekonomi rakyat.


Namun kendala terbesar bukan sekadar fiskal, melainkan mentalitas birokrasi. Banyak daerah masih nyaman menunggu kiriman pusat setiap tahun tanpa upaya kreatif untuk menggali potensi sendiri. Kemandirian fiskal memerlukan budaya kerja baru: inovatif, adaptif, dan berorientasi hasil.


Meski begitu, sejumlah daerah telah membuktikan bahwa kemandirian bukan hal mustahil. Kota Surabaya, Kabupaten Badung, dan Sleman menjadi contoh bagaimana pengelolaan pajak, aset, dan pariwisata mampu menopang pembangunan tanpa harus bergantung penuh pada dana pusat.


Jika kebijakan efisiensi anggaran 2026 benar berjalan, ini akan menjadi momentum penting bagi daerah untuk berbenah. Bagi yang siap, krisis bisa menjadi peluang. Tapi bagi yang belum, penyesuaian ini bisa menjadi ujian paling berat sejak otonomi daerah diberlakukan.


Purbaya menegaskan, arah kebijakan ke depan tetap berpihak pada pembangunan daerah. “Yang concern utama adalah, apakah ada dana tambahan ke daerah atau tidak. Kalau ada, berapa? Itu yang sedang kita hitung,” katanya. Kalimat itu menandakan bahwa hubungan fiskal pusat-daerah sedang dalam fase penyesuaian menuju keseimbangan baru.


Pada akhirnya, kemandirian fiskal bukan sekadar jargon. Ia adalah ukuran kedewasaan otonomi daerah. Saat daerah mampu berdiri di atas kaki sendiri, bantuan pusat bukan lagi penyelamat, tapi sekadar bonus. Karena sejatinya, kekuatan Indonesia ada pada kemampuan daerah-daerahnya untuk tumbuh tanpa bergantung. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca 🙏🙏🙏-- (**/redaksi-rangkuman dari berbagai sumber)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top