Tubo : Racun yang Lahir dari Dendam dan Kekuasaan

0


Oleh: Avina Amanda, Mahasiswa Universitas Andalas


Penulis, Mahasiswa Universitas Andalas Padang


Dalam pandangan orang Minang lama, tubo bukan sekadar alat pembunuh; ia adalah simbol dendam, kekuasaan, dan cara paling halus untuk menuntut keadilan ketika hukum manusia tak lagi berpihak.


------------


Dalam budaya Minangkabau, harga diri (marwah) adalah hal yang nyaris sakral. Kehormatan keluarga, terutama kaum perempuan dan ninik mamak, harus dijaga dengan segala cara. 


Ketika marwah itu tercoreng oleh penghinaan, pengkhianatan, atau fitnah, tubo menjadi senjata pamungkas yang bekerja diam-diam di balik dapur, diselipkan di antara hidangan atau minuman. 


Ia bekerja senyap, tanpa suara, namun meninggalkan jejak kematian yang tak dapat dihapuskan.


Menurut Hasanadi dkk. (2013) dalam Warisan Budaya Takbenda di Provinsi Sumatera Barat, tubo sering digunakan dalam konteks balas dendam pribadi atau politik. 


Racun ini diberikan secara diam-diam melalui makanan atau minuman, dan efeknya luar biasa: perut terasa seperti diremas dari dalam hingga korban perlahan meregang nyawa. 


Meski dari sisi moral tampak kejam, dalam kacamata adat lama, tindakan ini sering dianggap sebagai bentuk keadilan alternatif—cara seorang individu menegakkan keseimbangan ketika hukum dunia gagal memberi pembalasan.


Antara Racun dan Makhluk Gaib


Keunikan tubo tidak hanya terletak pada efeknya, tetapi juga pada sifat mistisnya. Ia dianggap sebagai racun hidup yang memiliki “penunggu”. Tubo tidak dibuat sembarangan; pembuatannya melibatkan kerja sama dengan makhluk halus atau jin penjaga. 


Dalam beberapa kisah, tubo berbentuk seperti serangga kecil berwarna hitam keabu-abuan, disebut kalimayia, yang konon bisa berjalan di dinding atau bersembunyi di atap rumah.


Pemelihara tubo harus memberi “makan” racun itu secara berkala dengan mantra dan sesajen. Jika ia gagal memberi makan atau tidak menyalurkan dendamnya kepada target, jin yang menjaga tubo akan murka dan justru menyerang tuannya sendiri. 


Karena itu, memiliki tubo sama saja dengan hidup dalam ketakutan yang konstan. Ia memberi kekuatan, tetapi juga kutukan. Orang yang menyimpan tubo sering dijauhi oleh tetangga, bahkan keluarga, karena takut terkena sial atau menjadi korban selanjutnya.


Dukun dan ahli pengobatan tradisional memiliki ritual penyembuhan khusus bagi korban tubo, salah satunya disebut dituntuang—sebuah proses mistik yang memadukan doa, air ramuan, dan gerak simbolik untuk “mengusir” racun dari tubuh korban. 


Namun, hampir semua kisah menyebutkan hal yang sama: jarang sekali ada korban yang benar-benar sembuh. Tubo seolah memiliki kehendak sendiri—ia tidak bisa disembuhkan, hanya bisa ditunda.


Fenomena tubo mengungkap paradoks dalam budaya Minangkabau—sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai adat dan agama, namun di sisi lain juga menyimpan tradisi gelap yang bersandar pada kekuatan gaib. 


Dalam satu sisi, tubo mencerminkan sistem sosial yang sangat menghormati kehormatan pribadi dan keluarga; di sisi lain, ia menunjukkan rapuhnya batas antara kearifan dan kekuasaan.


Bagi sebagian orang tua di nagari, cerita tubo masih diceritakan sebagai bentuk pendidikan moral. Pesannya jelas: jangan bermain-main dengan dendam, karena dendam bisa tumbuh menjadi racun yang memakan diri sendiri. 


“Orang yang memelihara tubo dalam hatinya, hidupnya takkan pernah damai,” ujar seorang tetua adat di Pesisir Selatan. Dendam, dalam pandangan ini, adalah tubo batin—racun jiwa yang lebih berbahaya daripada tubo fisik.


Jejak Sosial dan Ingatan Budaya


Meski praktiknya kini sudah lenyap, cerita tentang tubo masih hidup dalam memori kolektif masyarakat. Hingga 1950-an, beberapa daerah seperti Jorong Matur Katik di Kabupaten Agam atau Indrapura di Pesisir Selatan masih mengenal individu yang diyakini “menyimpan” tubo


Mereka hidup terasing, dihormati sekaligus ditakuti. Dalam konteks sosial, kisah-kisah itu menjadi semacam mekanisme kontrol moral—peringatan agar masyarakat tidak mudah menebar kebencian atau mempermainkan kepercayaan gaib.


Kini, tubo dipandang sebagai bagian dari warisan budaya takbenda—bukan untuk ditiru, tetapi untuk dipahami. Ia menyimpan pelajaran tentang bagaimana manusia Minangkabau memaknai kekuasaan, balas dendam, dan batas moralitas. 


Ia mengingatkan bahwa di balik keindahan adat dan falsafah alam takambang jadi guru, selalu ada sisi gelap budaya yang merefleksikan kompleksitas manusia.


Tubo, pada akhirnya, bukan sekadar racun. Ia adalah kisah tentang kemarahan yang tidak disembuhkan, tentang kekuasaan yang kehilangan arah, dan tentang manusia yang berusaha menegakkan keadilan dengan cara yang keliru. 


Dalam setiap kisah tentang tubo, tersimpan satu pelajaran abadi : bahwa balas dendam, seberapa pun halusnya, hanyalah jalan lain menuju kehancuran diri. (***/)


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top