![]() |
| Gambar tahanan KPK mengenakan baju orange |
Menjadi kepala daerah seharusnya merupakan amanah besar untuk melayani rakyat. Namun di lapangan, jabatan ini kerap dianggap sebagai “investasi politik” yang harus memberikan keuntungan.
---------------------
Dari sinilah agar berbagai kasus korupsi kepala daerah bermula, bukan karena tidak tahu hukum, tetapi karena ingin balik modal.
Realitas politik hari ini masih menunjukkan, untuk duduk di kursi bupati, wali kota, atau gubernur, seseorang harus menyiapkan uang dalam jumlah besar. Mulai dari biaya kampanye, logistik, hingga “operasional politik” yang tak sedikit. Banyak yang terjebak pada anggapan bahwa uang adalah syarat mutlak untuk menang.
Akibatnya, ketika berhasil menduduki jabatan, muncul tekanan untuk mengembalikan modal. Tidak sedikit kepala daerah yang kemudian “bermain proyek”, “jual jabatan”, atau menerima suap dari rekanan. Jabatan publik yang mestinya jadi jalan pengabdian, justru berubah jadi ladang bisnis.
Kasus terbaru yang menyeret nama Abdul Wahid, Gubernur Riau, kembali membuka mata publik. Belum kering berita tentangnya, muncul lagi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, Fenomena ini bukan sekadar kebetulan — ini pola yang terus berulang dari waktu ke waktu.
Padahal, KPK tidak pernah tidur. Setiap langkah kepala daerah selalu dalam pengawasan. Gerak-gerik mencurigakan, aliran dana tak wajar, atau komunikasi yang tidak etis bisa terdeteksi kapan saja. Namun entah mengapa, masih banyak pejabat yang nekat mengulangi kesalahan yang sama.
Mungkin karena rasa percaya diri berlebihan. Ada yang merasa sistem hukum bisa “dikelabui”. Ada pula yang berpikir “semua orang juga begitu”. Mental seperti inilah yang menghancurkan integritas pemerintahan daerah. Ketika korupsi dianggap lumrah, maka kejujuran jadi barang langka.
Padahal rakyat tak pernah meminta lebih. Mereka hanya ingin pemimpin yang bersih, adil, dan mau turun tangan memperbaiki nasib masyarakatnya. Tapi bagaimana rakyat bisa percaya, jika yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi tersangka?
Setiap kali OTT terjadi, kepercayaan publik terhadap pemerintah makin tergerus. Bukan hanya nama individu yang tercoreng, tapi juga marwah jabatan kepala daerah itu sendiri. Lembaga legislatif dan eksekutif pun ikut terseret dalam stigma buruk: “semua sama saja.”
Padahal tidak semua pejabat seperti itu. Banyak kepala daerah yang bekerja dengan hati, menjaga integritas, dan berani berkata tidak pada suap. Sayangnya, suara mereka sering tenggelam oleh berita korupsi yang lebih menarik bagi publik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem politik kita masih belum sehat. Biaya politik yang tinggi menciptakan jebakan moral bagi siapa pun yang ingin berkompetisi secara jujur. Akhirnya, banyak calon pemimpin baik yang mundur sebelum bertarung karena tak punya modal besar.
Maka, reformasi tidak cukup hanya dengan menangkap pelaku. Harus ada pembenahan menyeluruh terhadap sistem rekrutmen politik di daerah. Partai politik juga mesti introspeksi: jangan hanya memilih calon berdasarkan isi tas, tapi lihat isi kepala dan isi hati.
Pemilu kepala daerah bukan ajang bisnis, melainkan panggilan untuk mengabdi. Jika dibiarkan seperti sekarang, politik uang akan terus menumbuhkan generasi pemimpin yang korup. Yang mereka pikirkan bukan lagi rakyat, tapi bagaimana menutup utang politik.
Pemerintah pusat bersama KPK perlu memperkuat pencegahan, bukan hanya penindakan. Edukasi antikorupsi harus masuk ke dalam pembinaan kepala daerah sejak awal menjabat. Setiap pejabat publik mesti paham bahwa kekuasaan tanpa integritas hanyalah jebakan.
Media juga punya peran penting. Jangan hanya menyorot OTT sebagai sensasi, tapi jadikan sebagai bahan refleksi bersama. Publik perlu tahu bagaimana proses korupsi bisa terjadi — dari janji proyek hingga jual beli jabatan — agar bisa menekan perilaku serupa di lingkungannya.
Dan masyarakat pun tak boleh abai. Ketika pemilu tiba, jangan memilih karena amplop, nasi bungkus, atau janji kosong. Pilihlah karena visi dan rekam jejak. Setiap suara adalah masa depan daerah. Kalau masih mau menerima uang politik, jangan kaget jika pejabat terpilih sibuk “balik modal”.
Kasus-kasus seperti yang terjadi di Riau dan Ponorogo mestinya menjadi pelajaran keras bagi semua pihak. Kekuasaan memang menggoda, tapi jeruji besi menanti siapa pun yang mengkhianati kepercayaan rakyat. Integritas itu mahal, tapi jauh lebih berharga daripada jabatan.
Semoga dari setiap penangkapan, lahir kesadaran baru, bahwa menjadi kepala daerah bukan tentang berapa banyak uang yang dikeluarkan, tetapi seberapa besar keberanian menjaga amanah. Karena pada akhirnya, jabatan bisa hilang, tapi nama baik akan selalu dikenang. (redaksi)


Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih