Perizinan Online Terintegrasi : Cepat, tapi Belum Tentu Adil

0

 Oleh : Wahdatul Aini


Penulis


Pemerintah Indonesia kerap membanggakan sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) sebagai terobosan besar dalam reformasi birokrasi. 


Sistem ini lahir sebagai amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang bertujuan menyederhanakan perizinan dan meningkatkan iklim investasi. 


Melalui OSS, proses perizinan yang sebelumnya berbelit kini dapat dilakukan secara daring, lebih cepat, dan terstandarisasi. 


Di atas kertas, sistem ini tampak ideal. Namun, pertanyaannya: apakah percepatan perizinan melalui OSS sudah benar-benar menghadirkan keadilan dan kepastian hukum bagi semua pelaku usaha?


Tidak dapat dipungkiri, OSS memberikan kemudahan signifikan, terutama dalam penerbitan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang berfungsi sebagai identitas legal pelaku usaha. 


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, NIB dapat diperoleh hanya dengan mengisi data secara elektronik. 


Namun, kemudahan ini justru menyisakan persoalan baru ketika dihadapkan pada kondisi lapangan yang kompleks dan beragam, khususnya bagi usaha kecil dan menengah di daerah. 


Salah satu problem mendasar dari OSS adalah sentralisasi kewenangan perizinan yang belum sepenuhnya sinkron dengan pemerintah daerah. 


Dalam praktiknya, izin usaha dapat terbit secara elektronik meskipun belum sepenuhnya selaras dengan rencana tata ruang wilayah daerah. Padahal, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan ruang dan lingkungan. 


Akibat ketidaksinkronan ini, izin yang secara administratif sah sering kali menimbulkan konflik di lapangan, baik dengan masyarakat setempat maupun dengan pemerintah daerah sendiri. 


Dalam perspektif hukum administrasi, kondisi ini menunjukkan bahwa legalitas formal tidak selalu sejalan dengan legitimasi sosial.


Selain itu, penerapan perizinan berbasis risiko melalui OSS juga menyisakan tantangan serius. PP Nomor 5 Tahun 2021 membagi kegiatan usaha ke dalam kategori risiko rendah, menengah, dan tinggi. 


Namun, penentuan risiko tersebut sangat bergantung pada data yang diinput oleh pelaku usaha secara mandiri. Ketika data yang dimasukkan tidak akurat atau kurang diverifikasi, izin tetap dapat terbit. 


Hal ini berpotensi menggeser fungsi pengawasan negara dari tahap awal perizinan ke tahap pengawasan pasca-izin, yang pada praktiknya sering kali belum optimal.


Masalah lain yang patut disorot adalah kesiapan pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Banyak pelaku UMKM mengurus OSS hanya untuk “sekadar mendapatkan NIB”, tanpa memahami kewajiban lanjutan seperti pemenuhan standar usaha, pelaporan kegiatan usaha, atau kewajiban lingkungan hidup. 


Padahal, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap mewajibkan pelaku usaha memenuhi ketentuan lingkungan, meskipun izinnya diperoleh secara elektronik. 


Ketika terjadi pelanggaran, sanksi administratif pun dijatuhkan, meskipun akar masalahnya sering kali berasal dari minimnya pendampingan dan edukasi dari negara.


Dari sudut pandang konstitusional, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menegaskan bahwa kemudahan perizinan tidak boleh mengabaikan prinsip kehati-hatian, partisipasi masyarakat, serta perlindungan hak-hak warga negara. 


Putusan ini menjadi pengingat bahwa reformasi perizinan harus tetap berpijak pada prinsip keadilan substantif, bukan semata-mata efisiensi administratif.


Pada dasarnya, OSS memang dirancang untuk menjamin kepastian hukum, kemudahan berusaha, dan efisiensi pelayanan publik. 


Namun, kepastian hukum tidak hanya berarti izin cepat terbit, melainkan juga kepastian bahwa izin tersebut sesuai dengan aturan substantif, kondisi faktual, dan kepentingan masyarakat. 


Jika tidak, OSS berisiko menjadi sekadar alat administratif yang mengabaikan aspek keadilan dan kehati-hatian. Kedepannya, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi OSS. 


Integrasi data dengan pemerintah daerah harus diperkuat, pengawasan substansi izin perlu ditingkatkan, dan pendampingan hukum bagi pelaku UMKM harus diperluas. 


Tanpa langkah tersebut, percepatan perizinan justru berpotensi melahirkan konflik hukum baru yang merugikan masyarakat dan dunia usaha itu sendiri.


Perizinan yang baik bukan hanya soal cepat atau lambat, tetapi soal tepat dan adil. OSS adalah langkah maju dalam reformasi birokrasi, tetapi tanpa pembenahan serius dan pengawasan yang kuat, sistem ini dapat menciptakan kepastian administratif semu yang rapuh ketika diuji di lapangan.


Biodata Penulis


Nama : Wahdatul Aini


Pendidikan : S1 Ekonomi Syariah, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol 


Gmail : wahdatulaini220@gmail.com


 


 


 


 


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top