CATATAN JELANG PILWAKO PARIAMAN 2018 : Banyak Kejutan, Banyak Intrik Membuat Pilwako Jadi Berwarna


Meski pilkada Kota Pariaman masih jauh, namun tidak salah kiranya dari kini telah kita membicarakan Pilwako Kota Pariaman 2018. Dari pengamatan yang penulis lakukan, Pilwako Pariaman Tahun 2018 diperkirakan akan ramai, akan banyak kejutan-kejutan, akan banyak intrik-intrik.Sehingga Pilkawo akan menjadi lebih berwarna

Jika kita berkaca pada Pilkada serentak tanggal 9 Desember 2015 lalu. Banyak kejutan yang terjadi.Incumbent yang digadang-gadang akan memenangkan Pilkada, ternyata justru sebaliknya. Di Kabupaten Pesisir Selatan misalnya pendatang baru berhasil menumbangkan calon incumbent yang merupakan Wakil Bupati Pesisir Selatan, di Kabupaten Solok Gusmal yang tidak diprediksi akan menang,nyatanya menang. Sehingga berhasil menumbangkan Wakil Bupati Incumbent. Kemudian di Kabupaten Dharmasraya anak muda Sutan Riska juga berhasil menumbangkan incumbent. Begitu juga di Kabupaten 50 Kota Irfendi Arbi yang istirahat lima tahun, juga berhasil menumbangkan Wakil Bupati incumbent. Kemudian di Kabupaten Pasaman juga demikian, Yusuf Lubis berhasil mengalahkan Beni Utama.

Lalu bagaimananakah dengan Pilwako Kota Pariaman 2018 ,akankah incumbent juga akan bisa tumbang ? Bisa saja kalaulah Wawako Incumbent tidak berhati-hati dan terlena dengan kepopuleran yang telah dimiliki saat ini. Sebab para bakal calon wako yang berminat untuk maju pada Pilwako 2018, tentunya akan berusaha pula sekuat tenaga untuk meraih simpati masyarakat di empat kecamatan di Kota Pariaman.Berbagai intrik dan berbagai gaya tentu akan dilakukan, untuk meraih simpati masyarakat.Sehingga nantinya bisa memenangkan Pilwako.

Menurut Heru Kundhimiarso Dari Pusat Informasi dan Kebijakan Publik Pemalang, mengapa mereka para incumbent banyak yang mengalami kekalahan? Jika melihat beberapa fenomena yang muncul, yang menjadi faktor penyebabnya adalah sbb :

Pertama, Tingkat popularitas calon incumbent ternyata tidak berbanding lurus dengan tingkat ke disukai-nya dan keterpilihannya (elektabilitasnya) di mata rakyat. Hal ini bisa diakibatkan melekatnya persepsi negatif dalam diri sang incumbent, baik dari sisi moralitas, karakter pribadi, maupun gaya kepemimpinannya. Tingkat ketidaksukaan rakyat terhadap karakter personal dan gaya kepemimpinan seorang incumbent akan membentuk politik persepsi yang sedemikian kuat di mata publik, seperti kesan arogan, sok pintar, sok kuasa, pemarah, berjarak dengan rakyat dan berbagai macam lainnya.

Kedua, Kekalahan incumbent tersebut bisa dibaca sebagai bentuk protes langsung rakyat atas kepemimpinan sang incumbent atau pejabat politik di daerah tersebut. Incumbent dianggap mengingkari janji-janji kampanye pada saat pertama maju mencalonkan diri. Incumbent dinilai gagal mewujudkan kesejahteraan, gagal dalam menjalankan kepemimpinannya. Sehingga rakyat yang tidak puas melampiaskan ketidakpuasannya tersebut dengan cara menghukum sang incumbent dengan tidak memilihnya kembali.

Ketiga, Masyarakat memiliki keinginan kuat untuk melakukan perubahan dan mereka melakukan gerakan penolakan terhadap status quo yang dibangun incumbent, hal ini terjadi karena masyarakat telah melihat kepemimpinan incumbent yang tidak mampu dan tidak berhasil melakukan perubahan dalam masa kepemimpinannya. Semangat perubahan yang diinginkan masyarakat, akan membangun persepsi politik yang seolah-olah vis a vis antara pro status quo dengan pro perubahan.

Keempat, Kondisi masyarakat saat ini yang mulai otonom dan rasional dalam menentukan pilihannya, masyarakat tidak lagi tergantung pada bendera parpol yang mengusung calon, masyarakat tak mau lagi terbuai dengan money politik yang diberikan oleh sang kandidat. Masyarakat kini lebih melihat berdasarkan pada visi, misi, dan program kerja konkret yang ditawarkan calon. Lebih tertarik dengan sosok figur calon yang mencerminkan kesederhanaan, dekat dengan rakyat, jujur, ramah, dan low profile. Pilkada DKI Jakarta contoh paling dekat dan paling tepat dengan sosok Jokowi nya.

Jika melihat fakta tersebut, maka kita bisa membacanya sebagai sebuah kemajuan berdemokrasi di masyarakat. Hal ini harus menyadarkan mereka yang saat ini sedang menduduki posisi sebagai “incumbent”, baik di eksekutif (gubernur, bupati/walikota), maupun di legislatif (pusat, provinsi/kabupaten/kota). Jika mereka sebagai incumbent pejabat politik tidak mampu menjalankan fungsi dan keberadaannya sebagai pejabat publik, sebagai wakil rakyat dengan baik. Tak mustahil mereka akan terkena tsunami poltik yang akan menyapu dan merontokan eksistensi kedudukan mereka. Para incumbent itu akan terus berguguran.

Bisa jadi, fenomena musim bergugurannya incumbent (petahana) adalah bentuk kedewasaan masyarakat dan kemajuan berdemokrasi di republik ini. Dan hal ini adalah hukum alam yang tak akan bisa di elakkan. Pertanyaannya, bagaimana dengan Kota Pariaman yang juga akan menggelar Pilkada pada tahun 2018 mendatang ?

Jawabannya, kita kembalikan kepada publik (masyarakat) selaku pemilih. Jika incumbent selama memimpin dianggap berhasil, maka besar kemungkinan hal itu akan memuluskan langkahnya untuk kembali memimpin Kota Pariaman. Namun sebaliknya, jika publik (masyarakat) merespon negatif kinerja incumbent (petahana), maka fenomena bergugurannya incumbent dalam perhelatan Pilkada akan terjadi di Kota tabuik Pariaman. (*darwisman/disarikan dari berbagai sumber)


1 komentar:

  1. Untuk melihat dan mengukur tingkat keberhasilan petahana tidak cukup waktu 5 tahun, maka beri kesempatan pada incumbent untuk periode kedua untuk memperbaiki, menata dan melanjutkan program yg sudah dicanangkan dan di jadikan RPJM,

    BalasHapus

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Diberdayakan oleh Blogger.