Oleh : Tiara Adizha, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
![]() |
Foto by google image |
Hampir setiap hari, masyarakat Indonesia disuguhi berita tentang kasus korupsi, mulai dari pejabat daerah, wakil rakyat, hingga petinggi lembaga negara.
Praktik korupsi yang masif dan berulang telah menjadi luka kolektif yang sulit sembuh.
Yang menyedihkan, luka ini terus diwariskan dari generasi ke generasi, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bernegara.
Generasi muda, khususnya generasi Z, tumbuh dalam kondisi ini. Dibesarkan di tengah ironi antara ajakan untuk mencintai tanah air dan realitas di mana negara seolah dikelola oleh segelintir orang yang tak malu-malu memperkaya diri.
Dipersiapkan menjadi bagian dari “generasi emas Indonesia 2045”, namun nyatanya generasi muda malah menyaksikan keadilan yang timpang, korupsi dimana-mana, hukum yang tajam ke bawah, dan pemimpin yang lebih sibuk membangun citra daripada menjawab kebutuhan rakyat.
Wacana “pindah negara” di kalangan anak muda pun lahir dari fenomena ini. Hashtag #kaburaja dulu ramai digunakan di X, cuitan “Kalau bisa pindah warga negara, udah cabut dari lama.”, dan “syarat pindah negara apa aja sih” menjadi hal yang sering disuarakan netizen di media sosial.
Wacana pindah negara ini bukan sekadar tren media sosial. Hal ini mencerminkan bentuk kekecewaan yang dalam terhadap sistem yang tidak berpihak. Bagi sebagian orang, ungkapan “ingin pindah negara” terdengar ekstrem.
Namun sesungguhnya, ini adalah ungkapan dari rasa frustrasi yang telah memuncak.
Tentunya sebagai warga negara setiap orang ingin merasakan kualitas hidup yang lebih baik, akses ke pendidikan yang lebih baik, atau kebebasan dalam mengekspresikan diri di negaranegara yang lebih terbuka dan progresif.
Ketika negara tidak mampu menjamin hal tersebut, disinilah kekecewaan dan keinginan pindah ke negara lain muncul.
Ketika kejujuran tidak dihargai, ketika meritokrasi dikalahkan oleh koneksi, dan ketika integritas tidak menjamin kemajuan, maka berpikir untuk hidup di tempat lain menjadi pilihan logis — bukan semata bentuk pelarian. Fenomena inilah yang saat ini muncul di kalangan gen-Z .
![]() |
--------
Isi tulisan diatas sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis
--------
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih