Gen Z Melek Mental Health, Tapi Kenapa Masih Banyak yang Gengsi Konsultasi?

0

 

Gambar ilustrasi


Oleh :  Anita Rafia Desra, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas.

-----------


Di era digital, generasi Z sering disebut sebagai generasi paling sadar akan pentingnya kesehatan mental. Mereka vokal berbicara tentang self-healing, burnout, trauma, bahkan inner child di media sosial. 


Feed Instagram dan TikTok ramai dengan konten tentang coping mechanism, journaling, sampai afirmasi positif. 


Tapi ironisnya, masih banyak dari mereka yang justru enggan atau merasa malu untuk benar-benar berkonsultasi ke profesional saat mengalami gangguan kesehatan mental.


Fenomena ini bukan tanpa alasan. Di satu sisi, Gen Z memang tumbuh di era yang lebih terbuka, di mana topik soal kesehatan mental sudah tidak lagi dianggap tabu. 


Namun, di sisi lain, mereka juga masih hidup dalam bayang-bayang stigma yang diwariskan oleh generasi sebelumnya. 


Banyak yang tumbuh dengan narasi seperti, “Masalah mental itu karena kurang ibadah,” atau “Ngapain ke psikolog? Nanti dikira gila.” Ini membuat keputusan untuk mencari bantuan profesional terasa berat, seolah-olah itu adalah bentuk kelemahan, bukan langkah keberanian.


Selain itu, gengsi sosial juga menjadi penghambat. Di balik narasi "open-minded" dan "mental health matters", tak sedikit Gen Z yang justru merasa harus selalu terlihat kuat dan stabil secara emosional. 


Ada tekanan untuk tampil “healing” di media sosial, walau kenyataannya sedang struggle berat. Hal ini mendorong banyak anak muda untuk mengandalkan solusi instan seperti nonton video self-help, ikut webinar gratis, atau sekadar curhat lewat anonymous account, tapi tetap menghindari terapi yang sebenarnya jauh lebih efektif.


Tak bisa dimungkiri, ada juga faktor biaya dan akses yang menjadi kendala. Konsultasi ke psikolog atau psikiater belum sepenuhnya terjangkau bagi semua kalangan. Ditambah lagi, layanan konseling di kampus atau sekolah sering kali masih minim promosi, atau bahkan dianggap formalitas semata.


Padahal, kesadaran tanpa aksi hanya akan berakhir sebagai tren sesaat. Jika Gen Z benar-benar ingin membentuk generasi yang sehat mental secara kolektif, maka langkah nyatanya adalah mendorong keberanian untuk mencari pertolongan profesional tanpa malu, tanpa gengsi, tanpa takut label.


Lebih penting lagi, perubahan ini juga perlu dukungan lingkungan. Keluarga, institusi pendidikan, hingga media perlu ikut andil menciptakan ruang yang aman untuk menyuarakan keresahan psikologis, dan menyediakan akses yang ramah serta inklusif untuk layanan kesehatan mental.


Karena memperjuangkan mental health bukan sekadar soal konten viral atau estetika journaling, tapi tentang keberanian menghadapi luka dan memulihkan diri dengan cara yang tepat. (**/)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top