Tajuk : Retorika Berlebihan, Realita Kekurangan

0

 

Gambar ilustrasi by google image

Menjadi pemimpin daerah bukan hanya soal duduk di kursi empuk kekuasaan. Lebih dari itu, ada tanggung jawab moral dan sosial yang besar yang harus diemban setiap saat. (redaksi)

-----------


Salah satu kunci utama keberhasilan seorang pemimpin daerah adalah kemampuan berkomunikasi yang baik.


Komunikasi yang efektif bukan sekadar bicara lantang atau sering muncul di media, tetapi tentang bagaimana pesan diterima dan dipahami masyarakat.


Sayangnya, masih ada kepala daerah yang merasa posisi tertinggi di wilayahnya adalah tiket untuk bicara seenaknya. Mentang-mentang jadi orang nomor satu, tutur kata sering tak terkontrol.


Padahal, gaya komunikasi yang meledak-ledak dan penuh amarah hanya akan memupuk rasa takut, bukan rasa hormat. Pemimpin yang dihormati sejatinya adalah mereka yang mampu merangkul, bukan menekan.


Lebih miris lagi ketika pemimpin baru saja dilantik sudah langsung mengeluarkan banyak aturan dan kebijakan. Seolah semua masalah bisa selesai hanya dengan teriak perintah.


Tanpa melihat dulu ke dalam: apa yang sebenarnya terjadi, apa akar masalah yang ada, dan bagaimana kondisi mental birokrasi yang akan menjalankan kebijakan itu.


Gaya kepemimpinan semacam ini tak jarang justru membuat suasana kerja menjadi tegang. Aparatur sipil negara merasa tertekan, inovasi mati, dan pelayanan kepada masyarakat jadi terganggu.


Komunikasi yang baik bukan berarti lembek atau takut mengambil keputusan, melainkan tentang memahami konteks dan merumuskan pesan yang membangkitkan semangat, bukan mematikan kreativitas.


Selain soal gaya bicara, ada pula kebiasaan menjanjikan ini dan itu kepada masyarakat. Janji-janji politik memang sering dilontarkan untuk meraih simpati, tapi tanggung jawab moralnya pun sama besar.


Sebelum berjanji, sudah semestinya seorang pemimpin memeriksa dulu realitas anggaran daerah. Apakah janji itu realistis? Apakah ada ruang fiskal yang cukup?


Sayangnya, banyak yang abai. Janji tetap diumbar tanpa kajian yang matang, hanya demi memupuk citra baik di mata rakyat.


Akhirnya, janji tinggal janji. Ketika realisasi tak kunjung ada, pemimpin mulai mencari-cari alasan: dana tak tersedia, efisiensi anggaran, prioritas berubah, dan seribu satu dalih lain.


Padahal, masyarakat tak ingin mendengar alasan. Mereka hanya ingin merasakan hasil nyata dari janji-janji yang pernah disampaikan.


Dari sini terlihat betapa pentingnya komunikasi yang jujur, terbuka, dan terukur. Bukan hanya retorika kosong yang mudah diucap tetapi sulit diwujudkan.


Pemimpin yang cerdas akan memilih kata dengan hati-hati, mengukur kemampuan daerah, dan mengkomunikasikan program berdasarkan data, bukan sekadar harapan.


Dengan komunikasi yang efektif, kepercayaan publik dapat tumbuh. Dan dari kepercayaan inilah dukungan lahir, membuat program pembangunan lebih mudah dijalankan.


Sebaliknya, komunikasi yang buruk hanya akan menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat, memperlebar jurang ketidakpercayaan, dan menambah kegaduhan di ruang publik.


Karena itu, menjadi kepala daerah bukan sekadar soal menduduki jabatan, melainkan tentang seni berbicara, mendengar, dan menyampaikan kebenaran dengan penuh rasa tanggung jawab.


Sejatinya, memimpin bukan hanya soal bicara keras dan janji manis. Karena rakyat sudah terlalu sering diberi harapan, yang berujung pada kekecewaan. Dan entah sampai kapan siklus ini akan berhenti. (***/)

Posting Komentar

0Komentar

Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih

Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top