![]() |
Ibu-ibu pedagang kipas, tisu dan minuman berjualan ditengah mahasiswa yang lagi demi. Sumber foto.ig-nofrirahmadani23 |
Di banyak kota, suasana demo sering bikin pedagang kecil memilih angkat kaki. Mereka takut kalau tiba-tiba terjadi ricuh, gas air mata beterbangan, atau massa jadi beringas. Tapi di Padang, ceritanya lain. Demo justru jadi ajang cari cuan.
Ketika ribuan mahasiswa turun ke jalan, bukan hanya suara toa dan spanduk yang memenuhi suasana, tapi juga aroma gorengan, es cendol, sampai sala lauak hangat yang menggoda selera. Tidak itu saja juga ada yang kipas tangan agar tidak panas saat demo Seolah-olah jalanan yang panas oleh teriakan, berubah jadi pasar rakyat dadakan.
Di sisi kiri jalan, seorang ibu paruh baya terlihat lihai menuang es teh ke dalam plastik. Tangannya cekatan, sementara matanya sesekali melirik massa yang berorasi. Di sebelahnya, seorang bapak dengan wajah berkeringat terus mengipasi gorengan yang mendesis di wajan.
“Kalau di Padang mah lain. Demo rame begini justru bikin dagangan laku keras. Kalau di rumah sepi, di sini malah bisa habis dalam sekejap,” ujar ibu itu sambil tersenyum, lalu menyerahkan es teh ke mahasiswa yang masih berteriak “Hidup mahasiswa!”.
![]() |
Pedagang sala lauak ditengah kerumunan mahasiswa saat demo. Sumber foto. Ig-nofrirahmadani23 |
Suasana itu semakin terasa unik ketika para pendemo berhenti sejenak, merapat ke pedagang, membeli jajanan, lalu kembali lagi ke barisan. Tidak ada jarak, tidak ada rasa curiga. Justru terasa seperti satu keluarga besar yang sedang kumpul.
“Enggaklah, saya tak takut. Yang demo ini kan anak-anak kita juga. Mereka anak-anak terdidik, mahasiswa yang sopan. Jadi bukannya mengganggu, malah membantu saya cari rezeki,” kata seorang pedagang lainnya, sambil melayani pembeli yang antre.
Bahkan ada momen ketika seorang mahasiswa merogoh uang lebih, lalu berkata, “Ambil saja bu, sisanya buat ibu.” Senyum pedagang itu pun merekah, mungkin lebih manis dari es cendol yang baru saja ia tuangkan ke gelas plastik.
![]() |
Bapak-Bapak Berjualan Ditengah Kerumunan Mahasiswa. Sumber foto.ig-nofrirahmadani23 |
Dari kejauhan, tampak harmoni yang jarang terlihat dalam sebuah demo. Spanduk protes berkibar, toa menggema, tetapi di sela-selanya ada gelak tawa, ada transaksi jual beli, ada aroma makanan yang menenangkan. Tegang dan hangat bercampur jadi satu.
Fenomena ini seakan menunjukkan wajah lain Padang. Demo yang biasanya dianggap momok, di sini justru jadi ruang solidaritas. Mahasiswa menyalurkan aspirasi, pedagang mencari rezeki, dan keduanya saling mendukung tanpa ada yang merasa terganggu.
Bagi mahasiswa, keberadaan pedagang adalah penopang semangat. “Kalau lapar atau haus, tinggal beli di sini. Jadi kita bisa lanjut aksi tanpa harus pulang dulu,” kata salah seorang peserta aksi yang baru saja menggenggam pop ice dingin.
Padang pun hari itu tidak hanya menjadi saksi suara rakyat, tapi juga panggung kecil ketangguhan ekonomi. Di balik teriakan dan tuntutan, terselip kisah para pedagang yang mampu melihat peluang dalam situasi apa pun.
Mungkin inilah yang membuat Padang berbeda. Demo bukan hanya tentang orasi, bukan hanya tentang politik, tapi juga tentang kehidupan yang terus berjalan. Tentang dagangan yang ludes, tentang senyum pedagang kecil, dan tentang cuan yang tetap mengalir meski di tengah gelombang protes. (**/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih