![]() |
Warga Nias Ketika Akan Beribadat di Gereja. Foto Dikutip dari Browsing di Google |
Di pesisir barat Sumatra, tepatnya di Nagari Sungai Buliah Barat, Kecamatan Batang Anai, Padang Pariaman, terdapat sebuah dusun bernama Tanjuang Basuang.
Wilayah kecil ini menyimpan keberagaman sosial yang harmonis, termasuk keberadaan warga asal Nias yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat.
Warga Nias yang menetap di Tanjuang Basuang umumnya berasal dari Pulau Nias, Provinsi Sumatera Utara. Mereka adalah perantau yang dulunya datang dengan semangat bekerja dan membangun kehidupan baru.
Orang Nias pertama yang menghuni Sungai Buluh terdiri dari tujuh keluarga yaitu yaitu Zebua, Hareffa, Dohare, Era-era, Zai, Gea, dan Waruwu. Mereka datang ke Tanjuang Basuang
diperkirakan pada tahun 1948. Jumlah mereka sekitar 25 orang yang terdiri dari tujuh keluarga dan tujuh marga.
Sebagian besar dari mereka merantau sebagai tenaga buruh, tukang bangunan, atau nelayan, dan kemudian menetap setelah menemukan penghidupan yang stabil di daerah ini.
Pada masa itu, pembangunan di wilayah pesisir dan pergerakan ekonomi membuka peluang baru bagi para perantau, termasuk dari Nias. Mereka mulai menetap secara berkelompok dan membentuk komunitas kecil di tengah masyarakat Minang.
Seiring waktu, jumlah mereka pun bertambah. Kini, komunitas Nias di Tanjuang Basuang telah mencapai puluhan kepala keluarga, dan sebagian besar telah memiliki tempat tinggal tetap serta berbaur dalam struktur sosial dan adat setempat.
Mayoritas warga Nias di Tanjuang Basuang menganut agama Kristen Protestan. Mereka memiliki sebuah gereja yang menjadi pusat ibadah dan kegiatan rohani, yaitu Gereja BNKP (Banua Niha Keriso Protestan), yang berlokasi tak jauh dari pemukiman mereka.
Gereja ini juga menjadi tempat berkumpul dan mempererat tali persaudaraan antaranggota jemaat.
Meski berbeda agama dengan masyarakat Minangkabau yang mayoritas Muslim, kehidupan antarumat beragama di Tanjuang Basuang berlangsung damai dan penuh toleransi.
Warga Nias sangat menghormati tradisi lokal dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan sosial maupun gotong royong yang digagas oleh nagari.
Dalam kehidupan sehari-hari, pergaulan antara warga Nias dan warga Minang terjalin sangat akrab.
Mereka saling mengunjungi saat ada acara keluarga, saling membantu dalam kegiatan kampung, dan bekerja sama dalam bidang ekonomi, seperti pertanian, perikanan, maupun perdagangan kecil.
Meski belum ada perkawinan antara warga Nias dan warga setempat, hubungan sosial tetap berjalan dengan baik dan penuh rasa saling menghormati.
Perbedaan latar belakang tidak menjadi penghalang dalam membina kebersamaan dan solidaritas di lingkungan masyarakat.
Anak-anak dari keluarga Nias pun bersekolah di tempat yang sama dengan anak-anak warga lokal. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang plural, mengenal dua budaya sekaligus, dan mampu berbahasa Minang maupun bahasa Nias dengan fasih.
Selain kehidupan sosial, kontribusi warga Nias dalam pembangunan dusun juga cukup besar. Banyak dari mereka yang bekerja sebagai tukang bangunan, pengrajin, dan nelayan yang hasilnya memberi dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Pemerintah nagari dan tokoh masyarakat juga memberi ruang yang adil dan perhatian bagi komunitas Nias. Mereka diikutsertakan dalam musyawarah, kegiatan pemuda, dan acara kemasyarakatan lainnya, sehingga tidak ada sekat antara "pendatang" dan "penduduk asli".
Hingga kini, harmoni kehidupan warga Nias dan masyarakat Tanjuang Basuang menjadi potret keberhasilan integrasi sosial yang patut dijadikan contoh. Keberadaan mereka bukan hanya memperkaya keragaman budaya, tapi juga memperkuat semangat kebersamaan di nagari ini.
Tanjuang Basuang membuktikan bahwa meski berbeda asal-usul, bahasa, dan keyakinan, hidup rukun dan saling menghormati tetap bisa menjadi landasan utama dalam membangun kampung yang aman, damai, dan sejahtera. (***/)
Mohon Berkomentar Dengan Bahasa Yang Sopan. Terima Kasih